Jumat, 13 April 2012

Hamba atau Tuan? Sikap Seorang Pelayan Tuhan


Markus 9:33-37

            Berbicara mengenai kebesaran, maka ada perbedaan pengertian antara dunia (sekuler) dengan pelayanan Kristiani.  Dunia mendefinisikan kebesaran seseorang dari segi kuasa, harta, martabat dan kedudukan.  Bagi dunia, jika seseorang bisa menuntut pelayanan dari orang lain itu berarti orang tersebut dikatakan sebagai orang yang berhasil.  Dengan kata lain jika seseorang bisa berkuasa, memerintah atau berada di atas orang lain, itu yang disebut dengan kesuksesan. Mengapa demikian? Sebab dunia mengajarkan manusia untuk bermental “kepentingan saya dulu” atau “saya dilayani dulu.”   Oleh sebab itu, budaya pelayanan, bukanlah budaya yang populer bahkan menarik pun tidak bagi dunia !

          Namun, tidaklah demikian dengan pengertian kebesaran menurut pelayanan Kristiani.  Kebesaran seseorang dalam pelayanan Kristiani tidak dinilai dari statusnya, dari kuasanya, dari martabatnya, atau dari kedudukannya.  Allah menentukan kebesaran seorang hamba-Nya bukan berdasarkan banyaknya orang yang melayani kita, melainkan berdasarkan banyaknya orang yang kita layani. Allah tidak menentukan kebesaran seorang hamba-Nya dari banyaknya kuasa yang dimiliki seseorang dalam pelayanan, melainkan berdasarkan berapa banyak kuasa itu dipakai untuk melayani orang lain.

          Jadi, sangatlah jelas bahwa pandangan dunia (sekuler) bertolak belakang pandangan pelayanan Kristiani.  Oleh sebab itu, memahami arti dari pelayanan yang sesungguhnya bukanlah perkara yang mudah, apa lagi untuk melakukannya. 

          Dan fakta tentang hal ini bukan baru terjadi sekarang ini.  Lihatlah murid-murid Tuhan Yesus, 2000 tahun yang lalu mereka juga memperdebatkan tentang siapakah yang layak menerima kedudukan yang paling terkemuka di antara murid-murid yang lainnya.  Dan bukankah 2000 tahun kemudian hal yang sama hampir berlaku di berbagai gereja di berbagai tempat ? Sering kita mendengar para pemimpin masih bersaing memperoleh kedudukan dan tempat terkemuka di dalam gereja yang notabene adalah tempat untuk melayani Tuhan.

          Mengapa ini bisa terjadi? Sebab pada dasarnya semua orang ingin memimpin, ingin menjadi yang terkemuka, semua ingin dilayani dan bukan melayani.  Kalau saudara di minta untuk memilih, antara menjadi Jendral dan Prajurit, mana yang lebih enak dan akan saudara pilih? Tentu saja kita lebih suka untuk menjadi seorang Jendral.  Karena dengan kedudukan sebagai Jendral kita bisa memerintah orang lain, atau bawahan kita untuk mengabdi dan melayani kita, betul tidak?

          Tetapi jika kita ingin menjadi serupa dengan Kristus, maka itu berarti kita harus menjadi seorang pelayan. Sebab begitulah Yesus menyebut diri-Nya (Mat. 20:28).

          Penting bagi seorang Kristen untuk memiliki hati sebagai seorang hamba atau pelayan.  Sebab Allah membentuk saudara dan saya memang untuk melayani, bukan untuk mementingkan diri sendiri. Jika kita tidak memiliki hati seorang seorang pelayan, maka kita akan mudah tergoda untuk menyalahgunakan pelayanan itu untuk tujuan kita pribadi. 

          Namun, untuk memiliki hati seorang pelayan itu membutuhkan waktu dan proses.  Oleh sebab itu, seringkali Tuhan menguji kita dengan cara-cara yang tidak pernah kita duga untuk membentuk kita memiliki hati seorang pelayan. 

          Misalnya: ada jemaat yang sudah tua, sudah tidak bisa berjalan dengan baik, Allah berharap kita bisa membantu untuk menuntunnya dan memegang tangannya agar tidak jatuh. Dan bukan malahan berkata, “Maaf, saya juga sibuk, lagi saya tidak punya karunia belas kasihan.”  Atau misalnya pada saat saudara melihat ada bungkus-bungkus permen berserakan di kursi-kursi gereja yang kita duduki, Allah berharap kita bisa mengambil bungkus itu dan membuangnya ke tempat sampah, dan bukan berkata, “Maaf, itu bukan karunia atau tugas saya.” 

          Saudara sebenarnya sekalipun kita tidak dikaruniai untuk sebuah pelayanan tertentu, mungkin kita dipanggil untuk melakukannya jika tidak ada seorang pun yang dikaruniai untuk itu ada di sekitar situ.  Masa orang tua yang sedang berjalan itu yang membutuhkan pertolongan harus menunggu orang yang memiliki karunia untuk menuntun dia berjalan agar tidak jatuh? Masa kita lebih senang membiarkan keadaan rumah Tuhan menjadi kotor dibandingkan tangan kita yang kotor sedikit yang bisa kita cuci kemudian menjadi bersih kembali?
          Jika kita mengaku bahwa memiliki hati seorang pelayan, maka itu akan kita tunjukkan melalui karakter hidup kita yang mau melayani senantiasa di mana pun dan kapan pun juga. 

          Adalah mungkin jika seseorang yang melayani di gereja seumur hidupnya tanpa pernah menjadi seorang pelayan.  Bagaimana kita bisa tahu bahwa seseorang itu memiliki hati seorang pelayan atau tidak? Yesus mengatakan dari perbuatannya kita bisa tahu seseorang itu pelayan yang sejati atau bukan.

1.      Pelayan-pelayan Sejati Memberikan Diri Mereka untuk Melayani (v. 35).

          Melayani itu sama dengan memberi diri.  Oleh sebab itu melayani  bukanlah hal yang mudah.  Karena memberi diri itu berarti menuntut pengorbanan diri kita.  Kebanyakan dari kita mungkin akan berani berkorban diri demi kepentingan kita.  Namun, memberi diri dalam pelayanan tidaklah  demikian.  Kita memberi diri bukan karena ada kepentingan kita di dalamnya tapi, karena untuk kepentingan orang lain.

          Karenanya tidaklah mengherankan kalau hal ini pun terjadi kepada murid-murid Tuhan Yesus.  Tercatat di dalam ketiga kitab Injil Matius, Markus dan Lukas, bahwa para murid bertengkar atau mempersoalkan tentang siapakah yang terbesar di antara mereka. Mereka saling bersaing untuk menjadi yang utama dibandingkan dengan yang lain.  Yang mereka persoalkan bukan tentang pelayanan dan melayani, namun mencari siapa yang terbesar di antara mereka. 

          Mengapa ini bisa terjadi di antara mereka ? Ini disebabkan karena di dalam benak mereka sudah terlanjur ada konsep tertentu tentang mengikut Yesus.  Mereka membayangkan bahwa Tuhan Yesus akan menjadi pemimpin terkemuka, yang akan menggulingkan penjajahan Romawi, dan kemudian akan mempunyai kedudukan yang berjaya.  Tentu saja jika semuanya itu terjadi, maka orang yang paling dekat dan “yang terbesar” di antara murid-muridlah yang akan banyak menerima untung atau “kecipratan berkatnya.”  Oleh sebab itu, mereka semua berlomba ingin menjadi orang yang terbesar di antara yang lainnya. 



          Bagaimana reaksi Tuhan Yesus melihat itu? Yesus duduk dan memanggil mereka, kemudian berkata, "Jika seseorang ingin menjadi yang terdahulu, hendaklah ia menjadi yang terakhir dari semuanya dan pelayan dari semuanya.” 

          Apa yang dikatakan Yesus ini bukanlah hal yang mudah untuk mereka terima, terlebih lagi jika dikaitkan dengan kebudayaan mereka pada zaman itu. Menurut kebudayaan mereka, yang namanya seorang pelayan mempunyai fungsi utama adalah ketika sang majikannya sedang makan.  Mengapa demikian? Sebab orang pada zaman itu kalau orang makan itu sambil setengah berbaring dengan satu tangan menahan kepala.  Bayangkanlah dengan kondisi makan seperti itu tentu saja membuat sulit untuk mengambil sesuatu.  Oleh sebab itu, seorang pelayan harus berdiri untuk memperhatikan apa kebutuhan sang majikan.  Jika majikannya membutuhkan sesuatu, maka pelayan itu harus cepat mengambil atau menuangkan sesuatu. 

          Namun, inilah konsep pelayanan yang benar menurut Tuhan Yesus, yaitu pelayan Tuhan yang sejati adalah seorang yang mau memberi diri sepenuhnya dan siap sedia untuk melakukan segala sesuatu bagi kepentingan sang majikan dalam keadaan apa pun dan di mana pun juga. 

          Memberi diri itu berarti :
·        Melayani sekalipun pelayanan itu tidak menyenangkan hati kita, karena tujuan kita melayani yang utama adalah untuk menyenangkan hati Tuhan, bukan kita.
·        Melayani kapan pun Allah membutuhkan kita bahkan mengijinkan Tuhan untuk berhak penuh mengendalikan jadwal kita dan menyela kapan saja Dia membutuhkan kita! Bukan kita yang menyela waktu dan mengatur Tuhan sesuai dengan jadwal kita. Pelayanan harus menjadi prioritas utama kita!
·        Melayani kebutuhan orang lain lebih utama di atas kepentingan pribadi kita dan melihat pelayanan sebagai suatu kesempatan emas yang tidak boleh disia-siakan.
·        Melayani dengan sigap melakukan yang terbaik dalam diri mereka, tanpa menunda atau mengulur-ngulur waktu. 
·        Melayani sekalipun ada gangguan yang menghadang. Dan tidak menjadikan gangguan itu sebagai alasan untuk berhenti melayani tetapi untuk melatih kita melayani lebih sungguh lagi. 

          Itulah yang harus kita miliki jika ingin menjadi seorang pelayan yang sejati, yaitu pelayan yang memberi diri.  Tuhan kita Yesus Kristus telah memberi teladan tentang pemberian diri ini, dan hal itu kita ingat dengan mudah ketika kita melihat SALIB.

          SALIB sebuah pemberian diri atau self giving! Di atas kayu salib, Yesus memberi diri bukan berarti mati konyol atau mau diperlakukan semena-mena.  Ia memberi diri dengan menyediakan diri dengan setulus-tulusnya untuk membela dan menolong manusia yang berdosa.  Yesus tidak menunggu kita bertobat dulu baru kemudian Dia memberi diri-Nya buat kita. Ia tidak menunda-nunda waktu untuk segera menolong kita.   Ia memberikan diri-Nya untuk menebus dosa kita, bahkan pada saat kita masih menjadi seteru Allah.  Ia memberikan diri-Nya untuk menebus kita bahkan pada saat kita masih berdosa.   
                  
Jika Yesus sudah sedemikian berkorban buat kita, apa yang sudah kita berikan bagi kemuliaanNya.  Masihkah kita berpikir bahwa hidup ini adalah milik saya, oleh sebab itu saya akan gunakan semau saya.  Mungkin kita masih berpikiran bahwa seluruh waktu adalah saya miliki, oleh sebab itu, saya akan gunakan untuk kesenangan saya.  Mungkin juga kita berpikir bahwa harta yang saat ini saya miliki adalah hasil jerih payah saya sendiri, oleh sebab itu, saya akan gunakan untuk keperluan saya.  Mungkin juga kita berpikir bahwa semua bakat dan talenta yang saya miliki adalah hasil kerja saya, oleh karena itu saya hanya akan pakai untuk kepentingan saya sendiri.  Dan masih banyak lagi mungkin yang kita pikirkan yang semuanya adalah hanya untuk saya dan saya dan saya . . .

Ingat kita dipanggil untuk menjadi pelayan dan bukan tuan.  Pelayan yang sejati memberikan diri untuk melayani!   

2.      Pelayan-pelayan Sejati Merendahkan Diri Mereka untuk Melayani ( v. 36-37).

          Ini sebuah cerita dari perang kemerdekaan Amerika Serikat di abad 18. beberapa orang prajurit sedang mendorong gerobak yang terperosok dalam lumpur.  Mereka mendorong sekuat tenaga, tapi apa daya, tenaga mereka ternatas.  Komandan regu itu yang berpangkat kopral sama sekali tidak turut membantu, karena merasa pekerjaan untuk kotro-kotoran dalam lumpur tidak pantas bagi seorang kopral. Ia hanya berdiri dan berteriak, “Dorong terus. . .dorong terus!”

          Pada saat itu lewatlah seorang pengendara kuda.  Melihat adegan itu, orang tersebut turun dari kudanya, dan tanpa mengucapkan sepatah kata punj, ia masuk ke dalam lumpur dan turut mendorong gerobak itu. 

          Dan berkat pertolongannya, gerobak itu akhirnya dapat keluar dari lumpur.  Lalu penunggang kuda itu menghampiri sang kopral dan berbisik, “Kopral, kalau lain kali anda membutuhkan bantuan lagi, silahkan panggil saya.  Nama saya George Washington.”

          Langsung kopral itu mukanya berubah pucat pasi dan cepat-cepat ia memberi hormat, “Siap Jendral!”  Pengendara  kuda itu ternyata ada Jendral Washington, yang jabatannya adalah seorang panglima Tertinggi da Presiden Amerika Serikat! Saya yakin kopral itu mendapatkan pelajaran paling berharga dalam hidupnya yang tidak akan pernah dilupakan, yaitu tentang kerendahan hati. 

          Seorang pelayanan Kristen yang sejati harus memiliki kerendahan hati.  Yesus sudah berulang kali mengajarkan kepada murid-murid-Nya tentang hal ini, namun kelihatannya mereka tidak mengerti juga.  Mari kita lihat Markus 9:30-32.  ada beberapa hal yang menarik dalam bagian ini.

          Markus 9:30 dikatakan, “Yesus dan murid-murid-Nya berangkat dari situ dan melewati Galilea, dan Yesus tidak mau hal itu diketahui orang.”  Tuhan dan beberapa murid-Nya sangat mengenal wilayah Galilea, karena beberapa dar mereka berasal dari daerah itu.  Dan kemungkinan menurut saya orang-orang di Galilea juga mengenal Tuhan Yesus dan murid-murid-Nya.  Namun, yang pantas membuat kita heran dikatakan bahwa Yesus tidak mau kedatangan-Nya diketahui oleh orang. 

          Mungkin kita bertanya, mengapa demikian? Ayat 31, Sebab Ia sedang mengajar murid-murid-Nya. Ia berkata kepada mereka: "Anak Manusia akan diserahkan ke dalam tangan manusia, dan mereka akan membunuh Dia, dan tiga hari sesudah Ia dibunuh Ia akan bangkit."  Yesus sedang melakukan sesuatu yang dianggapnya sangat penting, yaitu mengajarkan murid-murid-Nya tentang kehendak Allah bagi diri-Nya. 

          Sebenarnya Markus, jarang sekali menggunakan sebutan “Anak Manusia” yang menunjuk kepada Yesus, sebab sebutan itu dirasanya terlalu merendahkan Tuhan.  Oleh karena itu, kalau kita teliti, maka Markus lebih banyak menggunakan sebutan Anak Allah (Markus 1:1, 5:7).  Tetapi di sini Markus tidak menghindarkan sebutan “Anak Manusia”, sebab Yesus sengaja memakai sebutan itu untuk menunjukkan kerendahan hati-Nya. 

          Namun, yang sangat disayangkan adalah bahwa apa yang Yesus ajarkan kepada mereka dengan sungguh-sungguh itu tidak dimengerti oleh para murid (v.32).  kenapa mereka tidak mengerti? Apakah karena ajaran yang mereka dapatkan hari itu baru buta mereka? Bukan demikian, sebab menurut Injil Markus, Tuhan sudah mengajarkan hal yang sama sebanyak 2 kali dan kalau kita mengikuti urutan peristiwa dalam semua Injil, maka ini adalah keempat kalinya Yesus mengajarkan bahwa Ia akan menderita!  

          Mereka bukan hanya tidak mengerti apa yang diajarkan oleh Yesus, namun mereka “segan menanyakannya kepada-Nya.”  aneh ‘kan? Udah tidak mengerti, tapi tidak mau ada yang bertanya? Tidak mengerti namun pura-pura mengerti ini adalah tindakan yang sangat tidak menguntungkan.  Seperti pepatah mengatakan, “Malu bertanya, sesat dijalan.” Kembali ke pertanyaan semula, kenapa tidak ada satu pun dari mereka yang tidak mau bertanya?  Ini jawabannya, karena mereka masing-masing menjaga gengsi.  Tidak ada orang yang mau ketahuan kalau dia bodoh.  Semua orang mau dianggap pandai oleh orang lain.  Semua murid-murid sok pinter dan akhirnya kebelinger!  Ini jelas bertentangan dengan kerendahan hati sebagai seorang pelayan.

          Oleh sebab itu, Yesus membawa seorang anak kecil ke tengah-tengah mereka.  Apa tujuan Yesus membawa seorang anak kecil ke tengah mereka? Perhatikan firman-Nya: "Barangsiapa menyambut seorang anak seperti ini dalam nama-Ku, ia menyambut Aku. Dan barangsiapa menyambut Aku, bukan Aku yang disambutnya, tetapi Dia yang mengutus Aku."
          Gambaran anak kecil merupakan gambaran dari ketidakberdayaan, tidak punya kuasa, tidak punya status, tidak punya hak, bergantung kepada orang dewasa.  Apakah kita perlu memiliki gambaran seperti itu? Harus, karena kita hanyalah pelayan dan bukan tuan.  Kita perlu dengan rendah hati mengakui, bahwa kekuatan untuk melayani itu datang dari Tuhan karena kita tidak berdaya, kuasa kita melayani itu datangnya dari Tuhan sebab kita tidak punya kuasa, status kita sebagai pelayan itu adalah kepercayaan dari Tuhan, bukan sesuatu yang layak kita dapatkan, kita tidak punya hak apapun sebagai hamba, kita hanya memiliki kewajiban, dalam pelayanan kita sepenuhnya hanya bergantung kepada Allah dan bukan kepada kemampuan kita. 
          Namun, gambaran anak kecil juga memberikan arti yang lain kepada kita, yaitu dalam urusan melayani Tuhan, tidak ada sesuatu pun yang kita kerjakan bagi Tuhan itu bernilai kecil!  Sebab yang sekecil apa pun pelayanan yang kita lakukan, itu berarti di mata Tuhan.

          Jadi, jangan pernah menganggap enteng pelayanan-pelayanan apapun juga yang dipercayakan kepada kita.  Kita harus dengan rendah hati melakukan pelayanan yang dipercayakan kepada kita dengan sungguh-sungguh.  Sebab pelayanan bukanlah ajang untuk unjuk gigi, atau unjuk kemampuan.  Pelayanan juga bukan ajang pameran atau untuk menarik perhatian orang atau penghormatan dari orang lain.  Itu bukan pelayanan, itu mencari popularitas, tidak bedanya dengan artis atau selebritis. 

          Menjadi pelayan yang rendah hati berbeda dengan pelayan yang rendah diri.  Bedanya, seorang pelayan yang rendah hati tahu akan kapasitas dan kedudukan hanya sebagai hamba, yang melakukan apa yang menjadi tugasnya dengan baik, tidak memikirkan keuntungan atau kepentingan pribadi.  Namun, pelayan.yang rendah diri tidak mengetahui kapasitas dirinya sebagai hamba, tidak melakukan tugas pelayanannya dengan baik, hanya memikirkan keuntungan atau kepentingan pribadinya dalam pelayanan.

          Misalnya, seorang pelayan yang rendah hati dalam pelayanan gereja.  Ketika ia mendapatkan tugas untuk menyambut jemaat, maka ia akan melakukan tugasnya sebaik-baiknya dengan cara datang lebih awal dari jemaat, mempersiapkan Alkitab, buku-buku pujian, dan warta gereja, kemudian dia akan memberikan salam dan mengucapkan selamat kepada jemaat yang datang beribadah dan ia akan menjadi orang yang terakhir duduk di kursi gereja setelah semua jemaat hadir!  Ia mau melakukan semuanya tanpa berpikir “kok enak betul mereka yang datang terlambat, hanya tinggal duduk dan beribadah” atau “kok aku mau ya beres-beres, padahal tidak yang perhatikan aku!”

          Jika kita ingin menjadi seorang pelayan sejati kita harus rendah hati dalam melayani.  Sekalipun kita tidak mendapat perhatian, pujian, popularitas bahkan kemahsyuran.  Malahan sebaliknya kita dicaci, kita dipersalahkan, kita dikritik pedas, kita dianggap remeh. Namun ingat, di surga Tuhan secara terang-terangan akan memberikan upah kepada pelayan-pelayan yang demikian!  Mari kita yang dipanggil sebagai pelayan-pelayan Kristus kita melayani dengan memberi diri dan rendah hati sama seperti Kristus telah memberi diri dan melayani kita dengan kerendahan hati-Nya. 
    



           

           

         

DIPANGGIL UNTUK MELAYANI




Yoh. 13:1-20

             Ketika seseorang/kita membaca kisah Yesus membasuh kaki para murid-Nya, maka kita akan sepakat bahwa kisah ini merupakan suatu kisah yang memuat ajaran tentang kerendahan hati seorang pemimpin besar seperti Yesus.  Orang yang membaca cerita ini bisa membayangkan skenario yang terjadi pada saat itu.  Menurut skenario, yang menjadi penyebab Yesus membasuh kaki para murid-Nya adalah karena di antara mereka tidak ada yang mau melakukannya.  Penyebab lain yang mungkin muncul adalah karena di ruangan itu tidak ada seorang pelayan atau hamba atau budak yang bertugas untuk membersihkan kaki mereka semuanya. 

          Namun jika kita melihat dalam Injil yang lain, maka kita akan mendapatkan banyak gambaran tentang situasi dan kondisi pada malam itu.  Menurut Injil Lukas, digambarkan bahwa situasi di sekitar meja makan  itu terasa tegang dan kaku.  Penyebabnya adalah “Terjadilah pertengkaran di antara murid-murid Yesus, [tentang] siapakah yang dapat dianggap terbesar di antara mereka” (Luk. 22:24).

          Yesus sudah berusaha untuk menentramkan mereka dengan berkata, “Raja-raja bangsa-bangsa memerintah rakyat mereka dan orang-orang yang menjalankan kuasa atas mereka disebut pelindung-pelindung.  Tetapi kamu tidaklah demikian, melainkan yang terbesar di antara kamu hendaklah menjadi sebagai yang paling muda dan pemimpin sebagai pelayan” (Luk.22:27).  Akan tetapi, kelihatannya perkataan Yesus tidak digubris oleh mereka.  Sebab itu persaingan tentang kedudukan di antara murid-murid pun tidak mereda.  Maklumlah semuanya ini menyangkut gengsi.  Dan memang secara manusiawi, siapakah manusia yang mau dianggap sebagai yang lebih rendah, lebih kecil atau lebih bodoh?  Bukankah kalau kita mau jujur, tiap orang maunya dianggap sebagai orang yang lebih besar, lebih tinggi, lebih pandai dan lebih-lebih yang lainnya dari yang sebenarnya. 

          Contoh yang kongkrit, baik yang terjadi di jaman ini atau pun di masa-masa yang lampau adalah mengenai perebutan kursi di mana-mana.  Harga sebuah kursi tidak semahal sebuah ranjang, meja atau almari, betul?  Di mana-mana selalu ada kursi.  Di ruangan ini ada banyak kursi, di ruang tunggu ada kursi, di restoran ada kursi dan di stasiun bis juga ada kursi. 

          Akan tetapi, kursi bisa menjadi rebutan dan harganya bisa menjadi lebih mahal bahkan bisa lebih mahal dari mobil sekalipun.  Lembaran sejarah penuh dengan perang yang memperebutkan sebuah kursi.  Sebuah bangsa bisa pecah dan saling membunuh karena perebutan kursi.  Jadi,  ternyata kursi bukan hanya tempat duduk, melainkan juga kedudukan.  Di mana-mana orang senang memperebutkan kursi: di partai, di organisasi, di perusahaan bahkan di gereja.  Belum lama ini ada beberapa orang yang rela mengeluarkan uang bahkan sampai milyaran rupiah agar dapat mendudukan dirinya di kursi istana merdeka. 

Mengapa bisa terjadi perebutan kursi? Mungkin supaya dapat menguasai orang lain atau juga bisa karena gengsi jika tidak menjabat apapun juga, atau bisa karena ada kepentingan pribadi yang ingin dicapai dengan duduk sebagai orang tinggi.  Dan masih banyak lain lagi.      
         
Namun Yesus mengatakan hal yang sebaliknya, bahwa kita harus memiliki kerendahan hati dalam kehidupan ini, apalagi kita semua ini dipanggil sebagai hamba-hamba Kristus.  Meskipun demikian, tidak ada satu pun dari murid-murid-Nya yang mau terjun untuk mencuci kaki orang yang hadir dalam jamuan makan itu.  karena mungkin dalam pikiran mereka barangsiapa yang melakukan hal itu langsung akan dianggap sebagai murid yang paling rendah.  Dan memang tugas untuk membasuh kaki para tamu adalah tugas seorang pelayan atau budak yang tentunya lebih rendah dari orang lain atau tamu tersebut.

Akhirnya Yesus mengambil tindakan yang membuat murid-murid itu terkejut, kikuk dan malu.  Tanpa berkata sepatah kata apapun, tiba-tiba Yesus meninggalkan meja, dan melepaskan jubah-Nya, mengambil sehelai kain dan mengikatnya pada pinggang-Nya, lalu mengambil sebuah baskom, menuangkan air ke baskom itu, berjongkok di depan para murid, mencuci kaki mereka dan mengeringkannya dengan kain yang terikat pada pinggang-Nya. 

Inilah kerendahan hati yang sejati, yaitu penyangkalan diri (v.3-4).  Penyangkalan diri bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan.  Mengapa demikian?  Karena manusia secara alami membutuhkan pengakuan bukan penyangkalan.  Manusia secara alami lebih cenderung untuk meninggikan diri dan bukan menyangkali diri.  Itulah sebabnya menjadi rendah hati itu sulit sebab membutuhkan penyangkalan diri. 

Penyangkalan diri ini sudah Yesus buktikan melalui tindakan pembasuhan kaki kepada para murid-Nya.  Apakah sebabnya Yesus mencuci kaki para murid-Nya?  Yohanes 13:3-4 mencatat, “Yesus tahu, bahwa Bapa-Nya telah menyerahkan segala sesuatu kepada-Nya dan bahwa Ia datang dari Allah dan kembali kepada Allah.  Lalu bangunlah Yesus menanggalkan jubah-Nya dst . . .” 

Pertanyaan kita telah terjawab.  Apalagi kalau kita melihat naskah Yunaninya secara harafiah yang berbunyi: “karena mengetahui bahwa segala perkara diberikan kepada-Nya oleh Bapa ke dalam tangan-Nya, dan bahwa dari Allah ia berasal dan kepada Allah pergi, Ia berdiri dari santapan dan melepaskan jubah-Nya. . . ” dalam teks aslinya ayat 3 dan 4 merupakan suatu ayat yang berkesinambungan alias tidak ada titik, tapi pakai koma. 

Jadi, menurut Yohanes, Yesus meninggalkan meja dan membasuh kaki para murid karena Ia mengetahui bahwa segala kekuasaan diberikan Allah kepada-Nya dan karena Ia mengetahui bahwa Ia datang dari Allah dan kembali kepada Allah.  Dengan kata lain, karena Yesus mengetahui bahwa Ia mempunyai kekuasaan yang begitu besar dan kedudukan yang begitu tinggi, Ia tetap mau melayani murid-murid-Nya.

Inilah cara Yesus mempergunakan kekuasaan dan kedudukannya, yaitu tidak untuk menekan orang lain yang ada di bawahnya, melainkan untuk melayani kepentingan mereka. 

Inilah paradoks yang terjadi pada malam itu.  Ketika para murid merasa kedudukan mereka terlalu tinggi untuk menggantikan tugas seorang pelayan atau budak untuk membasuh kaki. Yesus yang justru memiliki kekuasaan dan kedudukan yang tinggi memberikan sebuah keteladanan bersedia melakukan tugas itu. 

Di satu sisi para murid waktu itu menggunakan kedudukannya untuk meninggikan diri masing-masing dan menekan sesama mereka, maka di sisi lain, Yesus menggunakan kekuasaan dan kedudukan-Nya yang tinggi untuk melayani bagi kepentingan orang lain. 

Inilah dilema yang seringkali kita lihat dalam kehidupan sehari-hari.  Orang yang rendah, kecil dan bodoh seringkali berpura-pura atau memberi kesan dirinya tinggi, besar dan pandai.  Padahal orang yang tinggi, besar dan pandai tidak merasa perlu lagi untuk melakukan hal yang seperti itu, sehingga ia mau merendahkan diri dan melayani orang-orang yang ada di bawahnya.  Menurut Yesus orang tinggi tidak perlu tahan harga diri, tidak perlu lagi pasang aksi dan tidak perlu gengsi, tapi mau melayani bukan untuk kepentingan diri pribadi.      

Sdr, perhatikan lingkungan sekitar kita yang penuh dengan merk-merk.  Semua merk berusaha menampilkan sesuatu yang bagus.  Misalnya hotel ada yang bernama hotel Nirwana, dan tidak akan ada Hotel Neraka.  Atau sebuah toko lampu akan diberi nama Terang Benderang, tidak akan ada nama toko lampu gelap gulita.  Koran bernama Sinar Harapan, tidak ada Putus Harapan.  Kita makan di restoran bernama Nikmat, bukan restoran Tidak Nikmat atau Pu Hao Tje. 

Memiliki merk nama yang bagus bukanlah hal yang salah.  Dan memang kita juga menyukai barang-barang atau tempat yang memiliki kesan baik dengan merk yang bagus.  Merk yang bagus bukanlah masalah.  Yang menjadi masalah adalah kalau dari luar bungkus dan merknya bagus, tetapi apa yang di dalamnya jelek.  Misalnya pemangakas rambut yang merk Pangkas Rapih, tapi hasil pangkasannya sembrono.  Atau penjahit bermerk Halus, namun jahitannya kasar. Contoh lain lagi adalah maskapai penerbangan yang bermoto nyaman dan aman, namun kenyataannya keberangkatannya selalu tertunda dan bagasi sering hilang. Dan masih banyak contoh yang lainnya. 

Akan tetapi, yang lebih menjadi soal adalah bila hidup dan diri kita tidak sesuai dengan merk yang kita pasang.  Kita mengaku sebagai orang Kristen atau pengikut Tuhan, tetapi gaya hidup kita berbeda jauh dari gaya hidup Kristus yang sederhana, damai dan mau berkorban.  Kita mengaku bahwa diri kita adalah hamba-hamba Kristus, namun seringkali kita enggan melakukan pelayanan yang dipercayakan Tuhan melalui gereja-Nya. Atau kita memasang merk dalam diri kita sebagai pelayan Tuhan, tetapi kita sering bersikap seperti tuan yang hanya mengharapkan dilayani dan bukan terlibat dalam pelayanan.  Merknya seringkali bagus, tapi isinya bagaimana?

  Belajar dari para murid, mereka gagal dalam memerankan bagian mereka.  Sehingga Yesus berkata kepada mereka, “Mengertikah kamu apa yang telah kuperbuat kepadamu? Kamu menyebut Aku Guru dan Tuhan, dan katamu itu tepat, sebab memang Akulah Guru dan Tuhan” (v. 12-13).  Di sini seolah-olah Tuhan Yesus mau berkata kepada mereka, “Aku yang adalah seorang Guru yang harus dipercayai, dan Tuhan yang harus ditaati sanggup melayani sampai kepada hal yang terkecil, lalu mengapa kamu yang adalah murid dan hamba-Ku tidak mau melakukannya?

Pertanyaan yang sama Tuhan ajukan kepada sdr pada hari ini, Mengertikah kamu apa yang telah kuperbuat kepadamu? Yesus sudah melakukan segala hal yang terbaik buat sdr setiap waktu setiap harinya.  Bukan hanya itu, Ia telah memberikan Diri-Nya untuk menjadi tebusan bagi dosa dan kesalahan kita.  Jangan biar gengsi atau ketakutan membuat kita tidak mau mengambil bagian dalam pelayanan.  Ingatlah Tuhan mau melayani karena Dia mengasihi kita, jika kita mengasihi Dia, maka tidak ada alasan bagi kita untuk tinggal diam dan hanya ingin dilayani.  Kalau kita sudah mengerti apa yang telah Ia perbuat bagi kita, apakah yang sudah kita lakukan bagi Dia? 

Sdr, kerendahan hati bukan hanya menuntut kita untuk menyangkal diri, namun kerendahan hati juga menuntut kita untuk dapat menerima keberadaan orang lain dan saling mengasihi antar sesama kita (v. 14-17).  

Hal ini bukan hal yang mudah untuk dapat dilakukan oleh para murid.  Di antara mereka memang sudah secara jelas dan gamblang terjadi persaingan yang ketat untuk menjadi yang terbaik.  Bahkan Yakobus dan Yohanes secara terang-terangan meminta bagian/kedudukan kepada Yesus  dalam kemuliaan-Nya. Dan tentu saja permintaan itu menimbulkan pertentangan dan persaingan yang makin tajam di antara mereka. 

Dan memang hal inilah yang menjadi titik rawan dari 12 murid Tuhan Yesus. Oleh sebab itu, dalam Yoh 17:20-23, Tuhan Yesus meminta sebanyak tiga kali kepada Bapa-Nya agar para murid dapat bersatu untuk dipakai sebagai alat menyebarkan Kerajaan Allah. Ini menunjukkan bahwa hal ini sangatlah penting. 

Akar pertikaian di antara murid-murid itu selalu sama, yaitu memperebutkan kedudukan dengan pola pikir bahwa kedudukan dapat dimanfaatkan untuk kepentingan sendiri.  Akibat dari pola pikir inilah yang menyebabkan para murid sangat rawan untuk bertikai dan bercerai.  Karena itu Yesus prihatin akan hal ini, oleh sebab itu ia memberikan sebuah teladan yang hidup di hadapan mereka semua, yaitu dengan membasuh kaki mereka semua. 

Tindakan Yesus ini merupakan wujud dari kerendahan hati-Nya yang ditunjukkan dengan cara menerima semua dan mengasihi semua tanpa ada perbedaan di antara mereka.  Bahkan ketika Petrus meminta kepada Tuhan untuk membasuh bukan hanya kaki, tetapi tangan dan kepalanya, Yesus tidak mengubrisnya karena Ia ingin menunjukkan bahwa kasih dan penerimaan-Nya sama kepada semua murid-Nya. 

Yesus juga ingin menunjukkan kepada murid-murid-Nya bahwa kasih mereka kepada Tuhan itu harus aktif bukan pasif.  Kasih itu dapat dilihat dan dirasakan keberadaannya, bukan hanya omongan atau teori semata.  Kasih itu selalu mencari kebaikkan bagi orang lain dan tidak pernah menganggap ada pelayanan yang terlampau rendah untuk mencapai tujuan kasih itu. 

Yesus menginginkan hal seperti demikian dapat dilakukan oleh semua murid-Nya.  Oleh sebab itu, dalam ayat 16 dikatakan, “Sesungguhnya seorang hamba tidaklah lebih tinggi daripada tuannya, ataupun seorang utusan daripada Dia yang mengutusnya.”  Di sini Yesus ingin mengingatkan mereka, bahwa sebagai sesama pelayan Tuhan seharusnya mereka tidak berbantahan dan saling menelan satu dengan yang lainnya.  Karena mereka semua adalah hamba-hamba Kristus yang seharusnya saling menerima dan saling mengasihi untuk sama-sama bekerja dalam ladang Tuhan. 

Sdr, sebenarnya sebua pertikaian atau konflik adalah wajar dan merupakan bagian dari dinamika kehidupan berkelompok, entah itu kelompokm 12 orang, 12 ribu orang, bahkan 12 juta orang.  Apalagi jika pertikaian yang terjadi merupakan cetusan dari perbedaan pendapat, itu hal yang wajar.  Berbeda pendapat adalah tanda yang sehat, sebab keberagaman pendapat akan memperluas cakrawala pemikiran kita. 

Namun, pertikaian akan berubah menjadi sesuatu yang tidak sehat apabila terus menerus berlarut-larut, dan akhirnya menjurus kepada permusuhan yang dijiwai perasaan benci, iri dan ambisi mementingkan kepentingan diri sendiri.  Maka akibatnya cepat atau lambat akan timbul perpecahan, baik perpecahan yang terang-terangan atau perpecahan yang tersembunyi. 

Titik rawan para murid adalah titik rawan gereja-gereja Tuhan saat ini.  Kita sedang melayani Tuhan, malah bertengkar dan bertikai dengan sesama kita sendiri.  Energi kita habis terpakai untuk bertikai.  Bukan hanya energi, banyak waktu, tenaga dan pikiran kita terbuang sia-sia hanya untuk memuaskan ambisi dan rasa benci serta iri dalam diri.  Jika kita terus bertikai, mana mungkin pelayanan kita berdaya guna dan mencapai tujuan yang sesungguhnya, yaitu agar Injil tersebar dan banyak orang menjadi percaya?

          Oleh sebab itu, sebagai pelayan-pelayan Tuhan, sebagai umat Tuhan mari kita belajar memiliki kerendahan hati, bukan ke-egoisan diri.  Mari kita saling menerima segala kekurangan dan kelebihan sesama kita bukan saling benci dan iri. Mari kita saling mengasihi dan bukan saling menjatuhkan.

          Murid-murid Tuhan pernah gagal dalam hal ini.  Dan biarlah kegagalan mereka menjadi cerminan bagi kita untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama.  Selama doa pagi kita melihat dan berusaha memperdalam bagian Kisah Para rasul, dan kita melihat sekalipun para rasul itu memiliki talenta dan Visi yang berbeda dari Tuhan, misalnya Paulus dipanggil menjadi penginjil bagi orang non-Yahudi sedangkan Petrus menjadi penginjil untuk orang-orang Yahudi, namun mereka tidak menjadi terpecah belah karena perbedaan itu, tapi saling melengkapi satu dengan yang lainnya. 

          Demikian juga seharusnya dengan kita.  Kita dipanggil Tuhan dengan berbagai karunia dan visi yang berbeda, namun tentu Tuhan tidak menginginkan terjadi perpecahan, tapi Tuhan mau kita menggunakan semuanya untuk memperkaya pelayanan dan saling melayani satu dengan yang lainnya untuk kemuliaan Tuhan. 

          Ada seorang anak kecil yang terlambat datang ke sekolah.  Lalu gurunya bertanya kepadanya, “Mengapa kamu terlambat?”  Anak itu menjawab, “Dijalan seorang bapak kehilangan uang logamnya.  Saya ingin menolongnya mencari uang itu.  Namun datang orang banyak, mereka juga bermaksud menolong bapak itu.  Semua berdiri mengelilingi saya, sehingga saya tidak dapat keluar.”
         
          Kemudian gurunya berkata lagi, “Mengapa kamu tidak minta permisi, supaya mereka memberi jalan keluar?” Anak itu menjawab, “Tidak, saya tidak dapat melakukannya, sebab saya berdiri di atas uang logam itu.”
          Apa makna yang kita dapat dari cerita itu.  Sdr, tidak dapat dipungkiri bahwa di gereja kita terdapat banyak masalah yang kelihatannya tidak habis-habisnya.  Kadang saya bertanya, mungkin sdr juga demikian, kenapa kok gereja selalu bermasalah? Setelah membaca cerita tadi saya mencoba mengambil maknanya demikian, seringkali kita menjadi si anak kecil tadi yang menginjak uang yang sedang dicari, kita tidak mau melepaskan diri dan menjauh dari uang itu, padahal itu adalah masalah.  Dengan kata lain, Maafkan terkadang kita lebih senang menyimpan masalah itu daripada menyelesaikannya.

          Para murid juga demikian, selama mereka masih berusaha untuk menonjolkan diri dan bersaing satu dengan yang lainnya, maka tidak pernah ada kemajuan dalam kerohanian dan pelayanan mereka.  Akan tetapi, ketika mereka saling merendahkan diri, dengan menerima satu dengan yang lain dan saling mengasihi, maka Tuhan memakai mereka secara luarbiasa.

          Demikian juga yang berlaku atas gereja kita.  Kita tidak akan pernah maju, kita tidak akan pernah dapat menjadi berkat, kita tidak akan pernah diberkati oleh Tuhan, jika di dalam gereja Tuhan ini tidak ada pertobatan untuk merendahkan dengan menerima satu dengan yang lain dan saling melayani.  Amin.