Jumat, 13 April 2012

Hamba atau Tuan? Sikap Seorang Pelayan Tuhan


Markus 9:33-37

            Berbicara mengenai kebesaran, maka ada perbedaan pengertian antara dunia (sekuler) dengan pelayanan Kristiani.  Dunia mendefinisikan kebesaran seseorang dari segi kuasa, harta, martabat dan kedudukan.  Bagi dunia, jika seseorang bisa menuntut pelayanan dari orang lain itu berarti orang tersebut dikatakan sebagai orang yang berhasil.  Dengan kata lain jika seseorang bisa berkuasa, memerintah atau berada di atas orang lain, itu yang disebut dengan kesuksesan. Mengapa demikian? Sebab dunia mengajarkan manusia untuk bermental “kepentingan saya dulu” atau “saya dilayani dulu.”   Oleh sebab itu, budaya pelayanan, bukanlah budaya yang populer bahkan menarik pun tidak bagi dunia !

          Namun, tidaklah demikian dengan pengertian kebesaran menurut pelayanan Kristiani.  Kebesaran seseorang dalam pelayanan Kristiani tidak dinilai dari statusnya, dari kuasanya, dari martabatnya, atau dari kedudukannya.  Allah menentukan kebesaran seorang hamba-Nya bukan berdasarkan banyaknya orang yang melayani kita, melainkan berdasarkan banyaknya orang yang kita layani. Allah tidak menentukan kebesaran seorang hamba-Nya dari banyaknya kuasa yang dimiliki seseorang dalam pelayanan, melainkan berdasarkan berapa banyak kuasa itu dipakai untuk melayani orang lain.

          Jadi, sangatlah jelas bahwa pandangan dunia (sekuler) bertolak belakang pandangan pelayanan Kristiani.  Oleh sebab itu, memahami arti dari pelayanan yang sesungguhnya bukanlah perkara yang mudah, apa lagi untuk melakukannya. 

          Dan fakta tentang hal ini bukan baru terjadi sekarang ini.  Lihatlah murid-murid Tuhan Yesus, 2000 tahun yang lalu mereka juga memperdebatkan tentang siapakah yang layak menerima kedudukan yang paling terkemuka di antara murid-murid yang lainnya.  Dan bukankah 2000 tahun kemudian hal yang sama hampir berlaku di berbagai gereja di berbagai tempat ? Sering kita mendengar para pemimpin masih bersaing memperoleh kedudukan dan tempat terkemuka di dalam gereja yang notabene adalah tempat untuk melayani Tuhan.

          Mengapa ini bisa terjadi? Sebab pada dasarnya semua orang ingin memimpin, ingin menjadi yang terkemuka, semua ingin dilayani dan bukan melayani.  Kalau saudara di minta untuk memilih, antara menjadi Jendral dan Prajurit, mana yang lebih enak dan akan saudara pilih? Tentu saja kita lebih suka untuk menjadi seorang Jendral.  Karena dengan kedudukan sebagai Jendral kita bisa memerintah orang lain, atau bawahan kita untuk mengabdi dan melayani kita, betul tidak?

          Tetapi jika kita ingin menjadi serupa dengan Kristus, maka itu berarti kita harus menjadi seorang pelayan. Sebab begitulah Yesus menyebut diri-Nya (Mat. 20:28).

          Penting bagi seorang Kristen untuk memiliki hati sebagai seorang hamba atau pelayan.  Sebab Allah membentuk saudara dan saya memang untuk melayani, bukan untuk mementingkan diri sendiri. Jika kita tidak memiliki hati seorang seorang pelayan, maka kita akan mudah tergoda untuk menyalahgunakan pelayanan itu untuk tujuan kita pribadi. 

          Namun, untuk memiliki hati seorang pelayan itu membutuhkan waktu dan proses.  Oleh sebab itu, seringkali Tuhan menguji kita dengan cara-cara yang tidak pernah kita duga untuk membentuk kita memiliki hati seorang pelayan. 

          Misalnya: ada jemaat yang sudah tua, sudah tidak bisa berjalan dengan baik, Allah berharap kita bisa membantu untuk menuntunnya dan memegang tangannya agar tidak jatuh. Dan bukan malahan berkata, “Maaf, saya juga sibuk, lagi saya tidak punya karunia belas kasihan.”  Atau misalnya pada saat saudara melihat ada bungkus-bungkus permen berserakan di kursi-kursi gereja yang kita duduki, Allah berharap kita bisa mengambil bungkus itu dan membuangnya ke tempat sampah, dan bukan berkata, “Maaf, itu bukan karunia atau tugas saya.” 

          Saudara sebenarnya sekalipun kita tidak dikaruniai untuk sebuah pelayanan tertentu, mungkin kita dipanggil untuk melakukannya jika tidak ada seorang pun yang dikaruniai untuk itu ada di sekitar situ.  Masa orang tua yang sedang berjalan itu yang membutuhkan pertolongan harus menunggu orang yang memiliki karunia untuk menuntun dia berjalan agar tidak jatuh? Masa kita lebih senang membiarkan keadaan rumah Tuhan menjadi kotor dibandingkan tangan kita yang kotor sedikit yang bisa kita cuci kemudian menjadi bersih kembali?
          Jika kita mengaku bahwa memiliki hati seorang pelayan, maka itu akan kita tunjukkan melalui karakter hidup kita yang mau melayani senantiasa di mana pun dan kapan pun juga. 

          Adalah mungkin jika seseorang yang melayani di gereja seumur hidupnya tanpa pernah menjadi seorang pelayan.  Bagaimana kita bisa tahu bahwa seseorang itu memiliki hati seorang pelayan atau tidak? Yesus mengatakan dari perbuatannya kita bisa tahu seseorang itu pelayan yang sejati atau bukan.

1.      Pelayan-pelayan Sejati Memberikan Diri Mereka untuk Melayani (v. 35).

          Melayani itu sama dengan memberi diri.  Oleh sebab itu melayani  bukanlah hal yang mudah.  Karena memberi diri itu berarti menuntut pengorbanan diri kita.  Kebanyakan dari kita mungkin akan berani berkorban diri demi kepentingan kita.  Namun, memberi diri dalam pelayanan tidaklah  demikian.  Kita memberi diri bukan karena ada kepentingan kita di dalamnya tapi, karena untuk kepentingan orang lain.

          Karenanya tidaklah mengherankan kalau hal ini pun terjadi kepada murid-murid Tuhan Yesus.  Tercatat di dalam ketiga kitab Injil Matius, Markus dan Lukas, bahwa para murid bertengkar atau mempersoalkan tentang siapakah yang terbesar di antara mereka. Mereka saling bersaing untuk menjadi yang utama dibandingkan dengan yang lain.  Yang mereka persoalkan bukan tentang pelayanan dan melayani, namun mencari siapa yang terbesar di antara mereka. 

          Mengapa ini bisa terjadi di antara mereka ? Ini disebabkan karena di dalam benak mereka sudah terlanjur ada konsep tertentu tentang mengikut Yesus.  Mereka membayangkan bahwa Tuhan Yesus akan menjadi pemimpin terkemuka, yang akan menggulingkan penjajahan Romawi, dan kemudian akan mempunyai kedudukan yang berjaya.  Tentu saja jika semuanya itu terjadi, maka orang yang paling dekat dan “yang terbesar” di antara murid-muridlah yang akan banyak menerima untung atau “kecipratan berkatnya.”  Oleh sebab itu, mereka semua berlomba ingin menjadi orang yang terbesar di antara yang lainnya. 



          Bagaimana reaksi Tuhan Yesus melihat itu? Yesus duduk dan memanggil mereka, kemudian berkata, "Jika seseorang ingin menjadi yang terdahulu, hendaklah ia menjadi yang terakhir dari semuanya dan pelayan dari semuanya.” 

          Apa yang dikatakan Yesus ini bukanlah hal yang mudah untuk mereka terima, terlebih lagi jika dikaitkan dengan kebudayaan mereka pada zaman itu. Menurut kebudayaan mereka, yang namanya seorang pelayan mempunyai fungsi utama adalah ketika sang majikannya sedang makan.  Mengapa demikian? Sebab orang pada zaman itu kalau orang makan itu sambil setengah berbaring dengan satu tangan menahan kepala.  Bayangkanlah dengan kondisi makan seperti itu tentu saja membuat sulit untuk mengambil sesuatu.  Oleh sebab itu, seorang pelayan harus berdiri untuk memperhatikan apa kebutuhan sang majikan.  Jika majikannya membutuhkan sesuatu, maka pelayan itu harus cepat mengambil atau menuangkan sesuatu. 

          Namun, inilah konsep pelayanan yang benar menurut Tuhan Yesus, yaitu pelayan Tuhan yang sejati adalah seorang yang mau memberi diri sepenuhnya dan siap sedia untuk melakukan segala sesuatu bagi kepentingan sang majikan dalam keadaan apa pun dan di mana pun juga. 

          Memberi diri itu berarti :
·        Melayani sekalipun pelayanan itu tidak menyenangkan hati kita, karena tujuan kita melayani yang utama adalah untuk menyenangkan hati Tuhan, bukan kita.
·        Melayani kapan pun Allah membutuhkan kita bahkan mengijinkan Tuhan untuk berhak penuh mengendalikan jadwal kita dan menyela kapan saja Dia membutuhkan kita! Bukan kita yang menyela waktu dan mengatur Tuhan sesuai dengan jadwal kita. Pelayanan harus menjadi prioritas utama kita!
·        Melayani kebutuhan orang lain lebih utama di atas kepentingan pribadi kita dan melihat pelayanan sebagai suatu kesempatan emas yang tidak boleh disia-siakan.
·        Melayani dengan sigap melakukan yang terbaik dalam diri mereka, tanpa menunda atau mengulur-ngulur waktu. 
·        Melayani sekalipun ada gangguan yang menghadang. Dan tidak menjadikan gangguan itu sebagai alasan untuk berhenti melayani tetapi untuk melatih kita melayani lebih sungguh lagi. 

          Itulah yang harus kita miliki jika ingin menjadi seorang pelayan yang sejati, yaitu pelayan yang memberi diri.  Tuhan kita Yesus Kristus telah memberi teladan tentang pemberian diri ini, dan hal itu kita ingat dengan mudah ketika kita melihat SALIB.

          SALIB sebuah pemberian diri atau self giving! Di atas kayu salib, Yesus memberi diri bukan berarti mati konyol atau mau diperlakukan semena-mena.  Ia memberi diri dengan menyediakan diri dengan setulus-tulusnya untuk membela dan menolong manusia yang berdosa.  Yesus tidak menunggu kita bertobat dulu baru kemudian Dia memberi diri-Nya buat kita. Ia tidak menunda-nunda waktu untuk segera menolong kita.   Ia memberikan diri-Nya untuk menebus dosa kita, bahkan pada saat kita masih menjadi seteru Allah.  Ia memberikan diri-Nya untuk menebus kita bahkan pada saat kita masih berdosa.   
                  
Jika Yesus sudah sedemikian berkorban buat kita, apa yang sudah kita berikan bagi kemuliaanNya.  Masihkah kita berpikir bahwa hidup ini adalah milik saya, oleh sebab itu saya akan gunakan semau saya.  Mungkin kita masih berpikiran bahwa seluruh waktu adalah saya miliki, oleh sebab itu, saya akan gunakan untuk kesenangan saya.  Mungkin juga kita berpikir bahwa harta yang saat ini saya miliki adalah hasil jerih payah saya sendiri, oleh sebab itu, saya akan gunakan untuk keperluan saya.  Mungkin juga kita berpikir bahwa semua bakat dan talenta yang saya miliki adalah hasil kerja saya, oleh karena itu saya hanya akan pakai untuk kepentingan saya sendiri.  Dan masih banyak lagi mungkin yang kita pikirkan yang semuanya adalah hanya untuk saya dan saya dan saya . . .

Ingat kita dipanggil untuk menjadi pelayan dan bukan tuan.  Pelayan yang sejati memberikan diri untuk melayani!   

2.      Pelayan-pelayan Sejati Merendahkan Diri Mereka untuk Melayani ( v. 36-37).

          Ini sebuah cerita dari perang kemerdekaan Amerika Serikat di abad 18. beberapa orang prajurit sedang mendorong gerobak yang terperosok dalam lumpur.  Mereka mendorong sekuat tenaga, tapi apa daya, tenaga mereka ternatas.  Komandan regu itu yang berpangkat kopral sama sekali tidak turut membantu, karena merasa pekerjaan untuk kotro-kotoran dalam lumpur tidak pantas bagi seorang kopral. Ia hanya berdiri dan berteriak, “Dorong terus. . .dorong terus!”

          Pada saat itu lewatlah seorang pengendara kuda.  Melihat adegan itu, orang tersebut turun dari kudanya, dan tanpa mengucapkan sepatah kata punj, ia masuk ke dalam lumpur dan turut mendorong gerobak itu. 

          Dan berkat pertolongannya, gerobak itu akhirnya dapat keluar dari lumpur.  Lalu penunggang kuda itu menghampiri sang kopral dan berbisik, “Kopral, kalau lain kali anda membutuhkan bantuan lagi, silahkan panggil saya.  Nama saya George Washington.”

          Langsung kopral itu mukanya berubah pucat pasi dan cepat-cepat ia memberi hormat, “Siap Jendral!”  Pengendara  kuda itu ternyata ada Jendral Washington, yang jabatannya adalah seorang panglima Tertinggi da Presiden Amerika Serikat! Saya yakin kopral itu mendapatkan pelajaran paling berharga dalam hidupnya yang tidak akan pernah dilupakan, yaitu tentang kerendahan hati. 

          Seorang pelayanan Kristen yang sejati harus memiliki kerendahan hati.  Yesus sudah berulang kali mengajarkan kepada murid-murid-Nya tentang hal ini, namun kelihatannya mereka tidak mengerti juga.  Mari kita lihat Markus 9:30-32.  ada beberapa hal yang menarik dalam bagian ini.

          Markus 9:30 dikatakan, “Yesus dan murid-murid-Nya berangkat dari situ dan melewati Galilea, dan Yesus tidak mau hal itu diketahui orang.”  Tuhan dan beberapa murid-Nya sangat mengenal wilayah Galilea, karena beberapa dar mereka berasal dari daerah itu.  Dan kemungkinan menurut saya orang-orang di Galilea juga mengenal Tuhan Yesus dan murid-murid-Nya.  Namun, yang pantas membuat kita heran dikatakan bahwa Yesus tidak mau kedatangan-Nya diketahui oleh orang. 

          Mungkin kita bertanya, mengapa demikian? Ayat 31, Sebab Ia sedang mengajar murid-murid-Nya. Ia berkata kepada mereka: "Anak Manusia akan diserahkan ke dalam tangan manusia, dan mereka akan membunuh Dia, dan tiga hari sesudah Ia dibunuh Ia akan bangkit."  Yesus sedang melakukan sesuatu yang dianggapnya sangat penting, yaitu mengajarkan murid-murid-Nya tentang kehendak Allah bagi diri-Nya. 

          Sebenarnya Markus, jarang sekali menggunakan sebutan “Anak Manusia” yang menunjuk kepada Yesus, sebab sebutan itu dirasanya terlalu merendahkan Tuhan.  Oleh karena itu, kalau kita teliti, maka Markus lebih banyak menggunakan sebutan Anak Allah (Markus 1:1, 5:7).  Tetapi di sini Markus tidak menghindarkan sebutan “Anak Manusia”, sebab Yesus sengaja memakai sebutan itu untuk menunjukkan kerendahan hati-Nya. 

          Namun, yang sangat disayangkan adalah bahwa apa yang Yesus ajarkan kepada mereka dengan sungguh-sungguh itu tidak dimengerti oleh para murid (v.32).  kenapa mereka tidak mengerti? Apakah karena ajaran yang mereka dapatkan hari itu baru buta mereka? Bukan demikian, sebab menurut Injil Markus, Tuhan sudah mengajarkan hal yang sama sebanyak 2 kali dan kalau kita mengikuti urutan peristiwa dalam semua Injil, maka ini adalah keempat kalinya Yesus mengajarkan bahwa Ia akan menderita!  

          Mereka bukan hanya tidak mengerti apa yang diajarkan oleh Yesus, namun mereka “segan menanyakannya kepada-Nya.”  aneh ‘kan? Udah tidak mengerti, tapi tidak mau ada yang bertanya? Tidak mengerti namun pura-pura mengerti ini adalah tindakan yang sangat tidak menguntungkan.  Seperti pepatah mengatakan, “Malu bertanya, sesat dijalan.” Kembali ke pertanyaan semula, kenapa tidak ada satu pun dari mereka yang tidak mau bertanya?  Ini jawabannya, karena mereka masing-masing menjaga gengsi.  Tidak ada orang yang mau ketahuan kalau dia bodoh.  Semua orang mau dianggap pandai oleh orang lain.  Semua murid-murid sok pinter dan akhirnya kebelinger!  Ini jelas bertentangan dengan kerendahan hati sebagai seorang pelayan.

          Oleh sebab itu, Yesus membawa seorang anak kecil ke tengah-tengah mereka.  Apa tujuan Yesus membawa seorang anak kecil ke tengah mereka? Perhatikan firman-Nya: "Barangsiapa menyambut seorang anak seperti ini dalam nama-Ku, ia menyambut Aku. Dan barangsiapa menyambut Aku, bukan Aku yang disambutnya, tetapi Dia yang mengutus Aku."
          Gambaran anak kecil merupakan gambaran dari ketidakberdayaan, tidak punya kuasa, tidak punya status, tidak punya hak, bergantung kepada orang dewasa.  Apakah kita perlu memiliki gambaran seperti itu? Harus, karena kita hanyalah pelayan dan bukan tuan.  Kita perlu dengan rendah hati mengakui, bahwa kekuatan untuk melayani itu datang dari Tuhan karena kita tidak berdaya, kuasa kita melayani itu datangnya dari Tuhan sebab kita tidak punya kuasa, status kita sebagai pelayan itu adalah kepercayaan dari Tuhan, bukan sesuatu yang layak kita dapatkan, kita tidak punya hak apapun sebagai hamba, kita hanya memiliki kewajiban, dalam pelayanan kita sepenuhnya hanya bergantung kepada Allah dan bukan kepada kemampuan kita. 
          Namun, gambaran anak kecil juga memberikan arti yang lain kepada kita, yaitu dalam urusan melayani Tuhan, tidak ada sesuatu pun yang kita kerjakan bagi Tuhan itu bernilai kecil!  Sebab yang sekecil apa pun pelayanan yang kita lakukan, itu berarti di mata Tuhan.

          Jadi, jangan pernah menganggap enteng pelayanan-pelayanan apapun juga yang dipercayakan kepada kita.  Kita harus dengan rendah hati melakukan pelayanan yang dipercayakan kepada kita dengan sungguh-sungguh.  Sebab pelayanan bukanlah ajang untuk unjuk gigi, atau unjuk kemampuan.  Pelayanan juga bukan ajang pameran atau untuk menarik perhatian orang atau penghormatan dari orang lain.  Itu bukan pelayanan, itu mencari popularitas, tidak bedanya dengan artis atau selebritis. 

          Menjadi pelayan yang rendah hati berbeda dengan pelayan yang rendah diri.  Bedanya, seorang pelayan yang rendah hati tahu akan kapasitas dan kedudukan hanya sebagai hamba, yang melakukan apa yang menjadi tugasnya dengan baik, tidak memikirkan keuntungan atau kepentingan pribadi.  Namun, pelayan.yang rendah diri tidak mengetahui kapasitas dirinya sebagai hamba, tidak melakukan tugas pelayanannya dengan baik, hanya memikirkan keuntungan atau kepentingan pribadinya dalam pelayanan.

          Misalnya, seorang pelayan yang rendah hati dalam pelayanan gereja.  Ketika ia mendapatkan tugas untuk menyambut jemaat, maka ia akan melakukan tugasnya sebaik-baiknya dengan cara datang lebih awal dari jemaat, mempersiapkan Alkitab, buku-buku pujian, dan warta gereja, kemudian dia akan memberikan salam dan mengucapkan selamat kepada jemaat yang datang beribadah dan ia akan menjadi orang yang terakhir duduk di kursi gereja setelah semua jemaat hadir!  Ia mau melakukan semuanya tanpa berpikir “kok enak betul mereka yang datang terlambat, hanya tinggal duduk dan beribadah” atau “kok aku mau ya beres-beres, padahal tidak yang perhatikan aku!”

          Jika kita ingin menjadi seorang pelayan sejati kita harus rendah hati dalam melayani.  Sekalipun kita tidak mendapat perhatian, pujian, popularitas bahkan kemahsyuran.  Malahan sebaliknya kita dicaci, kita dipersalahkan, kita dikritik pedas, kita dianggap remeh. Namun ingat, di surga Tuhan secara terang-terangan akan memberikan upah kepada pelayan-pelayan yang demikian!  Mari kita yang dipanggil sebagai pelayan-pelayan Kristus kita melayani dengan memberi diri dan rendah hati sama seperti Kristus telah memberi diri dan melayani kita dengan kerendahan hati-Nya. 
    



           

           

         

Tidak ada komentar:

Posting Komentar