Yoh. 13:1-20
Ketika seseorang/kita membaca kisah Yesus membasuh
kaki para murid-Nya, maka kita akan sepakat bahwa kisah ini merupakan suatu
kisah yang memuat ajaran tentang kerendahan hati seorang pemimpin besar seperti
Yesus. Orang yang membaca cerita ini
bisa membayangkan skenario yang terjadi pada saat itu. Menurut skenario, yang menjadi penyebab Yesus
membasuh kaki para murid-Nya adalah karena di antara mereka tidak ada yang mau
melakukannya. Penyebab lain yang mungkin
muncul adalah karena di ruangan itu tidak ada seorang pelayan atau hamba atau
budak yang bertugas untuk membersihkan kaki mereka semuanya.
Namun jika kita melihat dalam Injil
yang lain, maka kita akan mendapatkan banyak gambaran tentang situasi dan kondisi
pada malam itu. Menurut Injil Lukas,
digambarkan bahwa situasi di sekitar meja makan
itu terasa tegang dan kaku.
Penyebabnya adalah “Terjadilah pertengkaran di antara murid-murid Yesus,
[tentang] siapakah yang dapat dianggap terbesar di antara mereka” (Luk. 22:24).
Yesus sudah berusaha untuk
menentramkan mereka dengan berkata, “Raja-raja bangsa-bangsa memerintah rakyat
mereka dan orang-orang yang menjalankan kuasa atas mereka disebut
pelindung-pelindung. Tetapi kamu
tidaklah demikian, melainkan yang terbesar di antara kamu hendaklah menjadi
sebagai yang paling muda dan pemimpin sebagai pelayan” (Luk.22:27). Akan tetapi, kelihatannya
perkataan Yesus tidak digubris oleh mereka.
Sebab itu persaingan tentang kedudukan di antara murid-murid pun tidak mereda. Maklumlah semuanya ini menyangkut
gengsi. Dan memang secara manusiawi,
siapakah manusia yang mau dianggap sebagai yang lebih rendah, lebih kecil atau
lebih bodoh? Bukankah kalau kita mau
jujur, tiap orang maunya dianggap sebagai orang yang lebih besar, lebih tinggi,
lebih pandai dan lebih-lebih yang lainnya dari yang sebenarnya.
Contoh yang kongkrit, baik yang
terjadi di jaman ini atau pun di masa-masa yang lampau adalah mengenai
perebutan kursi di mana-mana. Harga
sebuah kursi tidak semahal sebuah ranjang, meja atau almari, betul? Di mana-mana selalu ada kursi. Di ruangan ini ada banyak kursi, di ruang
tunggu ada kursi, di restoran ada kursi dan di stasiun bis juga ada kursi.
Akan tetapi, kursi bisa menjadi
rebutan dan harganya bisa menjadi lebih mahal bahkan bisa lebih mahal dari
mobil sekalipun. Lembaran sejarah penuh
dengan perang yang memperebutkan sebuah kursi.
Sebuah bangsa bisa pecah dan saling membunuh karena perebutan kursi. Jadi, ternyata kursi bukan hanya tempat duduk, melainkan
juga kedudukan. Di mana-mana orang
senang memperebutkan kursi: di partai, di organisasi, di perusahaan bahkan di
gereja. Belum lama ini ada beberapa orang
yang rela mengeluarkan uang bahkan sampai milyaran rupiah agar dapat mendudukan
dirinya di kursi istana merdeka.
Mengapa bisa terjadi perebutan kursi? Mungkin supaya
dapat menguasai orang lain atau juga bisa karena gengsi jika tidak menjabat
apapun juga, atau bisa karena ada kepentingan pribadi yang ingin dicapai dengan
duduk sebagai orang tinggi. Dan masih
banyak lain lagi.
Namun Yesus mengatakan hal yang sebaliknya, bahwa kita
harus memiliki kerendahan hati dalam kehidupan ini, apalagi kita semua ini
dipanggil sebagai hamba-hamba Kristus.
Meskipun demikian, tidak ada satu pun dari murid-murid-Nya yang mau
terjun untuk mencuci kaki orang yang hadir dalam jamuan makan itu. karena mungkin dalam pikiran mereka
barangsiapa yang melakukan hal itu langsung akan dianggap sebagai murid yang
paling rendah. Dan memang tugas untuk
membasuh kaki para tamu adalah tugas seorang pelayan atau budak yang tentunya
lebih rendah dari orang lain atau tamu tersebut.
Akhirnya Yesus mengambil tindakan yang membuat
murid-murid itu terkejut, kikuk dan malu.
Tanpa berkata sepatah kata apapun, tiba-tiba Yesus meninggalkan meja,
dan melepaskan jubah-Nya, mengambil sehelai kain dan mengikatnya pada
pinggang-Nya, lalu mengambil sebuah baskom, menuangkan air ke baskom itu,
berjongkok di depan para murid, mencuci kaki mereka dan mengeringkannya dengan
kain yang terikat pada pinggang-Nya.
Inilah
kerendahan hati yang sejati, yaitu penyangkalan diri (v.3-4). Penyangkalan
diri bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan.
Mengapa demikian? Karena manusia
secara alami membutuhkan pengakuan bukan penyangkalan. Manusia secara alami lebih cenderung untuk
meninggikan diri dan bukan menyangkali diri.
Itulah sebabnya menjadi rendah hati itu sulit sebab membutuhkan
penyangkalan diri.
Penyangkalan diri ini sudah Yesus buktikan melalui
tindakan pembasuhan kaki kepada para murid-Nya. Apakah sebabnya Yesus mencuci kaki para
murid-Nya? Yohanes 13:3-4 mencatat,
“Yesus tahu, bahwa Bapa-Nya telah menyerahkan segala sesuatu kepada-Nya dan
bahwa Ia datang dari Allah dan kembali kepada Allah. Lalu bangunlah Yesus menanggalkan jubah-Nya
dst . . .”
Pertanyaan kita telah terjawab. Apalagi kalau kita melihat naskah Yunaninya
secara harafiah yang berbunyi: “karena
mengetahui bahwa segala perkara diberikan kepada-Nya oleh Bapa ke dalam
tangan-Nya, dan bahwa dari Allah ia berasal dan kepada Allah pergi, Ia berdiri
dari santapan dan melepaskan jubah-Nya. . . ” dalam teks aslinya ayat 3 dan
4 merupakan suatu ayat yang berkesinambungan alias tidak ada titik, tapi pakai
koma.
Jadi, menurut Yohanes, Yesus meninggalkan meja dan
membasuh kaki para murid karena Ia
mengetahui bahwa segala kekuasaan diberikan Allah kepada-Nya dan karena Ia
mengetahui bahwa Ia datang dari Allah dan kembali kepada Allah. Dengan kata lain, karena Yesus mengetahui bahwa Ia mempunyai kekuasaan yang begitu besar
dan kedudukan yang begitu tinggi, Ia tetap mau melayani murid-murid-Nya.
Inilah cara Yesus mempergunakan kekuasaan dan
kedudukannya, yaitu tidak untuk menekan orang lain yang ada di bawahnya,
melainkan untuk melayani kepentingan mereka.
Inilah paradoks yang terjadi pada malam itu. Ketika para murid merasa kedudukan mereka
terlalu tinggi untuk menggantikan tugas seorang pelayan atau budak untuk membasuh
kaki. Yesus yang justru memiliki kekuasaan dan kedudukan yang tinggi memberikan
sebuah keteladanan bersedia melakukan tugas itu.
Di satu sisi para murid waktu itu menggunakan
kedudukannya untuk meninggikan diri masing-masing dan menekan sesama mereka, maka
di sisi lain, Yesus menggunakan kekuasaan dan kedudukan-Nya yang tinggi untuk
melayani bagi kepentingan orang lain.
Inilah dilema yang seringkali kita lihat dalam
kehidupan sehari-hari. Orang yang
rendah, kecil dan bodoh seringkali berpura-pura atau memberi kesan dirinya
tinggi, besar dan pandai. Padahal orang
yang tinggi, besar dan pandai tidak merasa perlu lagi untuk melakukan hal yang
seperti itu, sehingga ia mau merendahkan diri dan melayani orang-orang yang ada
di bawahnya. Menurut Yesus orang tinggi
tidak perlu tahan harga diri, tidak perlu lagi pasang aksi dan tidak perlu
gengsi, tapi mau melayani bukan untuk kepentingan diri pribadi.
Sdr, perhatikan lingkungan sekitar kita yang penuh
dengan merk-merk. Semua merk berusaha
menampilkan sesuatu yang bagus. Misalnya
hotel ada yang bernama hotel Nirwana, dan tidak akan ada Hotel Neraka. Atau sebuah toko lampu akan diberi nama Terang
Benderang, tidak akan ada nama toko lampu gelap gulita. Koran bernama Sinar Harapan, tidak ada Putus
Harapan. Kita makan di restoran
bernama Nikmat, bukan restoran Tidak Nikmat atau Pu
Hao Tje.
Memiliki merk nama yang bagus bukanlah hal yang
salah. Dan memang kita juga menyukai
barang-barang atau tempat yang memiliki kesan baik dengan merk yang bagus. Merk yang bagus bukanlah masalah. Yang menjadi masalah adalah kalau dari luar
bungkus dan merknya bagus, tetapi apa yang di dalamnya jelek. Misalnya pemangakas rambut yang merk Pangkas
Rapih, tapi hasil pangkasannya sembrono. Atau penjahit bermerk Halus, namun jahitannya
kasar. Contoh lain lagi adalah maskapai penerbangan yang bermoto nyaman
dan aman, namun kenyataannya keberangkatannya selalu tertunda dan
bagasi sering hilang. Dan masih banyak contoh yang lainnya.
Akan tetapi, yang lebih menjadi soal adalah bila hidup
dan diri kita tidak sesuai dengan merk yang kita pasang. Kita mengaku sebagai orang Kristen
atau pengikut Tuhan, tetapi gaya hidup kita
berbeda jauh dari gaya
hidup Kristus yang sederhana, damai dan mau berkorban. Kita mengaku bahwa diri kita adalah hamba-hamba
Kristus, namun seringkali kita enggan melakukan pelayanan yang
dipercayakan Tuhan melalui gereja-Nya. Atau kita memasang merk dalam diri kita
sebagai pelayan Tuhan, tetapi kita
sering bersikap seperti tuan yang hanya mengharapkan dilayani
dan bukan terlibat dalam pelayanan.
Merknya seringkali bagus, tapi isinya bagaimana?
Belajar dari para murid, mereka gagal dalam
memerankan bagian mereka. Sehingga Yesus
berkata kepada mereka, “Mengertikah kamu apa yang telah kuperbuat kepadamu?
Kamu menyebut Aku Guru dan Tuhan, dan katamu itu tepat, sebab memang Akulah
Guru dan Tuhan” (v. 12-13). Di sini
seolah-olah Tuhan Yesus mau berkata kepada mereka, “Aku yang adalah seorang Guru yang harus dipercayai, dan Tuhan yang harus
ditaati sanggup melayani sampai kepada hal yang terkecil, lalu mengapa kamu yang
adalah murid dan hamba-Ku tidak mau melakukannya?
Pertanyaan yang sama Tuhan ajukan kepada sdr pada hari
ini, Mengertikah kamu apa yang telah kuperbuat kepadamu? Yesus sudah melakukan
segala hal yang terbaik buat sdr setiap waktu setiap harinya. Bukan hanya itu, Ia telah memberikan Diri-Nya
untuk menjadi tebusan bagi dosa dan kesalahan kita. Jangan biar gengsi atau ketakutan membuat
kita tidak mau mengambil bagian dalam pelayanan. Ingatlah Tuhan mau melayani karena Dia
mengasihi kita, jika kita mengasihi Dia, maka tidak ada alasan bagi kita untuk
tinggal diam dan hanya ingin dilayani. Kalau
kita sudah mengerti apa yang telah Ia perbuat bagi kita, apakah yang sudah kita
lakukan bagi Dia?
Sdr, kerendahan hati bukan hanya menuntut kita untuk
menyangkal diri, namun kerendahan hati
juga menuntut kita untuk dapat menerima keberadaan orang lain dan saling
mengasihi antar sesama kita (v. 14-17).
Hal ini bukan hal yang mudah untuk dapat dilakukan
oleh para murid. Di antara mereka memang
sudah secara jelas dan gamblang terjadi persaingan yang ketat untuk menjadi
yang terbaik. Bahkan Yakobus dan Yohanes
secara terang-terangan meminta bagian/kedudukan kepada Yesus dalam kemuliaan-Nya. Dan tentu saja
permintaan itu menimbulkan pertentangan dan persaingan yang makin tajam di
antara mereka.
Dan memang hal inilah yang menjadi titik rawan dari 12
murid Tuhan Yesus. Oleh sebab itu, dalam Yoh 17:20-23, Tuhan Yesus meminta
sebanyak tiga kali kepada Bapa-Nya agar para murid dapat bersatu untuk dipakai
sebagai alat menyebarkan Kerajaan Allah. Ini menunjukkan bahwa hal ini
sangatlah penting.
Akar pertikaian di antara murid-murid itu selalu sama,
yaitu memperebutkan kedudukan dengan pola pikir bahwa kedudukan dapat
dimanfaatkan untuk kepentingan sendiri.
Akibat dari pola pikir inilah yang menyebabkan para murid sangat rawan
untuk bertikai dan bercerai. Karena itu
Yesus prihatin akan hal ini, oleh sebab itu ia memberikan sebuah teladan yang
hidup di hadapan mereka semua, yaitu dengan membasuh kaki mereka semua.
Tindakan Yesus ini merupakan wujud dari kerendahan hati-Nya
yang ditunjukkan dengan cara menerima semua dan mengasihi semua tanpa ada
perbedaan di antara mereka. Bahkan
ketika Petrus meminta kepada Tuhan untuk membasuh bukan hanya kaki, tetapi
tangan dan kepalanya, Yesus tidak mengubrisnya karena Ia ingin menunjukkan
bahwa kasih dan penerimaan-Nya sama kepada semua murid-Nya.
Yesus juga ingin menunjukkan kepada murid-murid-Nya
bahwa kasih mereka kepada Tuhan itu harus aktif bukan pasif. Kasih itu dapat dilihat dan dirasakan
keberadaannya, bukan hanya omongan atau teori semata. Kasih itu selalu mencari kebaikkan bagi orang
lain dan tidak pernah menganggap ada pelayanan yang terlampau rendah untuk
mencapai tujuan kasih itu.
Yesus menginginkan hal seperti demikian dapat
dilakukan oleh semua murid-Nya. Oleh
sebab itu, dalam ayat 16 dikatakan, “Sesungguhnya
seorang hamba tidaklah lebih tinggi daripada tuannya, ataupun seorang utusan
daripada Dia yang mengutusnya.” Di
sini Yesus ingin mengingatkan mereka, bahwa sebagai sesama pelayan Tuhan
seharusnya mereka tidak berbantahan dan saling menelan satu dengan yang
lainnya. Karena mereka semua adalah
hamba-hamba Kristus yang seharusnya saling menerima dan saling mengasihi untuk
sama-sama bekerja dalam ladang Tuhan.
Sdr, sebenarnya sebua pertikaian atau konflik adalah
wajar dan merupakan bagian dari dinamika kehidupan berkelompok, entah itu
kelompokm 12 orang, 12 ribu orang, bahkan 12 juta orang. Apalagi jika pertikaian yang terjadi
merupakan cetusan dari perbedaan pendapat, itu hal yang wajar. Berbeda pendapat adalah tanda yang sehat,
sebab keberagaman pendapat akan memperluas cakrawala pemikiran kita.
Namun, pertikaian akan berubah menjadi sesuatu yang
tidak sehat apabila terus menerus berlarut-larut, dan akhirnya menjurus kepada
permusuhan yang dijiwai perasaan benci, iri dan ambisi mementingkan kepentingan
diri sendiri. Maka akibatnya cepat atau
lambat akan timbul perpecahan, baik perpecahan yang terang-terangan atau
perpecahan yang tersembunyi.
Titik rawan para murid adalah titik rawan
gereja-gereja Tuhan saat ini. Kita
sedang melayani Tuhan, malah bertengkar dan bertikai dengan sesama kita
sendiri. Energi kita habis terpakai
untuk bertikai. Bukan hanya energi,
banyak waktu, tenaga dan pikiran kita terbuang sia-sia hanya untuk memuaskan
ambisi dan rasa benci serta iri dalam diri.
Jika kita terus bertikai, mana mungkin pelayanan kita berdaya guna dan
mencapai tujuan yang sesungguhnya, yaitu agar Injil tersebar dan banyak orang
menjadi percaya?
Oleh sebab itu, sebagai pelayan-pelayan
Tuhan, sebagai umat Tuhan mari kita belajar memiliki kerendahan hati, bukan
ke-egoisan diri. Mari kita saling
menerima segala kekurangan dan kelebihan sesama kita bukan saling benci dan
iri. Mari kita saling mengasihi dan bukan saling menjatuhkan.
Murid-murid Tuhan pernah gagal dalam
hal ini. Dan biarlah kegagalan mereka
menjadi cerminan bagi kita untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama. Selama doa pagi kita melihat dan berusaha
memperdalam bagian Kisah Para rasul, dan kita melihat sekalipun para rasul itu
memiliki talenta dan Visi yang berbeda dari Tuhan, misalnya Paulus dipanggil
menjadi penginjil bagi orang non-Yahudi sedangkan Petrus menjadi penginjil
untuk orang-orang Yahudi, namun mereka tidak menjadi terpecah belah karena
perbedaan itu, tapi saling melengkapi satu dengan yang lainnya.
Demikian juga seharusnya dengan
kita. Kita dipanggil Tuhan dengan berbagai
karunia dan visi yang berbeda, namun tentu Tuhan tidak menginginkan terjadi
perpecahan, tapi Tuhan mau kita menggunakan semuanya untuk memperkaya pelayanan
dan saling melayani satu dengan yang lainnya untuk kemuliaan Tuhan.
Ada
seorang anak kecil yang terlambat datang ke sekolah. Lalu gurunya bertanya kepadanya, “Mengapa
kamu terlambat?” Anak itu menjawab,
“Dijalan seorang bapak kehilangan uang logamnya. Saya ingin menolongnya mencari uang itu. Namun datang orang banyak, mereka juga
bermaksud menolong bapak itu. Semua
berdiri mengelilingi saya, sehingga saya tidak dapat keluar.”
Kemudian gurunya berkata lagi, “Mengapa
kamu tidak minta permisi, supaya mereka memberi jalan keluar?” Anak itu
menjawab, “Tidak, saya tidak dapat melakukannya, sebab saya berdiri di atas
uang logam itu.”
Apa makna yang kita dapat dari cerita
itu. Sdr, tidak dapat dipungkiri bahwa
di gereja kita terdapat banyak masalah yang kelihatannya tidak
habis-habisnya. Kadang saya bertanya,
mungkin sdr juga demikian, kenapa kok gereja selalu bermasalah? Setelah membaca
cerita tadi saya mencoba mengambil maknanya demikian, seringkali kita menjadi
si anak kecil tadi yang menginjak uang yang sedang dicari, kita tidak mau
melepaskan diri dan menjauh dari uang itu, padahal itu adalah masalah. Dengan kata lain, Maafkan terkadang kita
lebih senang menyimpan masalah itu daripada menyelesaikannya.
Para
murid juga demikian, selama mereka masih berusaha untuk menonjolkan diri dan
bersaing satu dengan yang lainnya, maka tidak pernah ada kemajuan dalam
kerohanian dan pelayanan mereka. Akan
tetapi, ketika mereka saling merendahkan diri, dengan menerima satu dengan yang
lain dan saling mengasihi, maka Tuhan memakai mereka secara luarbiasa.
Demikian juga yang berlaku atas gereja
kita. Kita tidak akan pernah maju, kita
tidak akan pernah dapat menjadi berkat, kita tidak akan pernah diberkati oleh
Tuhan, jika di dalam gereja Tuhan ini tidak ada pertobatan untuk merendahkan
dengan menerima satu dengan yang lain dan saling melayani. Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar