Markus 9:33-37
Berbicara mengenai kebesaran, maka ada perbedaan
pengertian antara dunia (sekuler) dengan pelayanan Kristiani. Dunia mendefinisikan kebesaran seseorang dari
segi kuasa, harta, martabat dan kedudukan.
Bagi dunia, jika seseorang bisa menuntut pelayanan dari orang lain itu
berarti orang tersebut dikatakan sebagai orang yang berhasil. Dengan kata lain jika seseorang bisa
berkuasa, memerintah atau berada di atas orang lain, itu yang disebut dengan
kesuksesan. Mengapa demikian? Sebab dunia mengajarkan manusia untuk bermental “kepentingan saya dulu” atau “saya dilayani dulu.” Oleh sebab itu, budaya pelayanan, bukanlah
budaya yang populer bahkan menarik pun tidak bagi dunia !
Namun, tidaklah demikian dengan
pengertian kebesaran menurut pelayanan Kristiani. Kebesaran seseorang dalam pelayanan Kristiani
tidak dinilai dari statusnya, dari kuasanya, dari martabatnya, atau dari
kedudukannya. Allah menentukan
kebesaran seorang hamba-Nya bukan berdasarkan banyaknya orang yang melayani
kita, melainkan berdasarkan banyaknya orang yang kita layani. Allah tidak
menentukan kebesaran seorang hamba-Nya dari banyaknya kuasa yang dimiliki
seseorang dalam pelayanan, melainkan berdasarkan berapa banyak kuasa itu dipakai
untuk melayani orang lain.
Jadi, sangatlah jelas bahwa pandangan
dunia (sekuler) bertolak belakang pandangan pelayanan Kristiani. Oleh sebab itu, memahami arti dari pelayanan
yang sesungguhnya bukanlah perkara yang mudah, apa lagi untuk melakukannya.
Dan fakta tentang hal ini bukan baru
terjadi sekarang ini. Lihatlah
murid-murid Tuhan Yesus, 2000 tahun yang lalu mereka juga memperdebatkan
tentang siapakah yang layak menerima kedudukan yang paling terkemuka di antara murid-murid
yang lainnya. Dan bukankah 2000 tahun
kemudian hal yang sama hampir berlaku di berbagai gereja di berbagai tempat ?
Sering kita mendengar para pemimpin masih bersaing memperoleh kedudukan dan
tempat terkemuka di dalam gereja yang notabene adalah tempat untuk melayani Tuhan.
Mengapa ini bisa terjadi? Sebab pada
dasarnya semua orang ingin memimpin, ingin menjadi yang terkemuka, semua ingin
dilayani dan bukan melayani. Kalau
saudara di minta untuk memilih, antara menjadi Jendral dan Prajurit, mana yang
lebih enak dan akan saudara pilih? Tentu saja kita lebih suka untuk menjadi
seorang Jendral. Karena dengan kedudukan
sebagai Jendral kita bisa memerintah orang lain, atau bawahan kita untuk
mengabdi dan melayani kita, betul tidak?
Tetapi jika kita ingin menjadi serupa dengan
Kristus, maka itu berarti kita harus menjadi seorang pelayan. Sebab begitulah
Yesus menyebut diri-Nya (Mat. 20:28).
Penting bagi seorang Kristen untuk
memiliki hati sebagai seorang hamba atau pelayan. Sebab Allah membentuk saudara dan saya memang
untuk melayani, bukan untuk mementingkan diri sendiri. Jika kita tidak memiliki
hati seorang seorang pelayan, maka kita akan mudah tergoda untuk
menyalahgunakan pelayanan itu untuk tujuan kita pribadi.
Namun, untuk memiliki hati seorang
pelayan itu membutuhkan waktu dan proses.
Oleh sebab itu, seringkali Tuhan menguji kita dengan cara-cara yang
tidak pernah kita duga untuk membentuk kita memiliki hati seorang pelayan.
Misalnya: ada jemaat yang sudah
tua, sudah tidak bisa berjalan dengan baik, Allah berharap kita bisa membantu
untuk menuntunnya dan memegang tangannya agar tidak jatuh. Dan bukan malahan
berkata, “Maaf, saya juga sibuk, lagi saya tidak punya karunia belas kasihan.” Atau misalnya pada saat saudara melihat ada
bungkus-bungkus permen berserakan di kursi-kursi gereja yang kita duduki, Allah
berharap kita bisa mengambil bungkus itu dan membuangnya ke tempat sampah, dan
bukan berkata, “Maaf, itu bukan karunia atau tugas saya.”
Saudara sebenarnya sekalipun kita
tidak dikaruniai untuk sebuah pelayanan tertentu, mungkin kita dipanggil untuk
melakukannya jika tidak ada seorang pun yang dikaruniai untuk itu ada di
sekitar situ. Masa orang tua yang sedang berjalan itu yang membutuhkan pertolongan
harus menunggu orang yang memiliki karunia untuk menuntun dia berjalan agar
tidak jatuh? Masa kita lebih senang membiarkan keadaan rumah Tuhan menjadi
kotor dibandingkan tangan kita yang kotor sedikit yang bisa kita cuci kemudian
menjadi bersih kembali?
Jika kita mengaku bahwa memiliki hati
seorang pelayan, maka itu akan kita tunjukkan melalui karakter hidup kita yang
mau melayani senantiasa di mana pun dan kapan pun juga.
Adalah
mungkin jika seseorang yang melayani di gereja seumur hidupnya tanpa pernah
menjadi seorang pelayan. Bagaimana
kita bisa tahu bahwa seseorang itu memiliki hati seorang pelayan atau tidak?
Yesus mengatakan dari perbuatannya kita bisa tahu seseorang itu pelayan yang
sejati atau bukan.
1.
Pelayan-pelayan Sejati Memberikan Diri Mereka untuk
Melayani (v. 35).
Melayani
itu sama dengan memberi diri. Oleh sebab itu melayani bukanlah hal yang mudah. Karena memberi diri itu berarti menuntut
pengorbanan diri kita. Kebanyakan
dari kita mungkin akan berani berkorban diri demi kepentingan kita. Namun, memberi diri dalam pelayanan tidaklah demikian.
Kita memberi diri bukan karena ada kepentingan kita di dalamnya tapi,
karena untuk kepentingan orang lain.
Karenanya tidaklah mengherankan kalau
hal ini pun terjadi kepada murid-murid Tuhan Yesus. Tercatat di dalam ketiga kitab Injil Matius,
Markus dan Lukas, bahwa para murid bertengkar atau mempersoalkan tentang
siapakah yang terbesar di antara mereka. Mereka saling bersaing untuk menjadi
yang utama dibandingkan dengan yang lain.
Yang mereka persoalkan bukan tentang pelayanan dan melayani, namun
mencari siapa yang terbesar di antara mereka.
Mengapa ini bisa terjadi di antara
mereka ? Ini disebabkan karena di dalam benak mereka sudah terlanjur ada konsep
tertentu tentang mengikut Yesus. Mereka
membayangkan bahwa Tuhan Yesus akan menjadi pemimpin terkemuka, yang akan menggulingkan
penjajahan Romawi, dan kemudian akan mempunyai kedudukan yang berjaya. Tentu saja jika semuanya itu terjadi, maka
orang yang paling dekat dan “yang terbesar” di antara murid-muridlah yang akan
banyak menerima untung atau “kecipratan berkatnya.” Oleh sebab itu, mereka semua berlomba ingin
menjadi orang yang terbesar di antara yang lainnya.
Bagaimana reaksi Tuhan Yesus melihat
itu? Yesus duduk dan memanggil mereka, kemudian berkata, "Jika
seseorang ingin menjadi yang terdahulu, hendaklah ia menjadi yang terakhir dari
semuanya dan pelayan dari semuanya.”
Apa yang dikatakan Yesus ini bukanlah
hal yang mudah untuk mereka terima, terlebih lagi jika dikaitkan dengan
kebudayaan mereka pada zaman itu. Menurut kebudayaan mereka, yang namanya seorang
pelayan mempunyai fungsi utama adalah ketika sang majikannya sedang makan. Mengapa demikian? Sebab orang pada zaman itu kalau
orang makan itu sambil setengah berbaring dengan satu tangan menahan
kepala. Bayangkanlah dengan kondisi
makan seperti itu tentu saja membuat sulit untuk mengambil sesuatu. Oleh sebab itu, seorang pelayan harus berdiri
untuk memperhatikan apa kebutuhan sang majikan.
Jika majikannya membutuhkan sesuatu, maka pelayan itu harus cepat mengambil
atau menuangkan sesuatu.
Namun, inilah konsep pelayanan yang
benar menurut Tuhan Yesus, yaitu pelayan Tuhan yang sejati adalah seorang
yang mau memberi diri sepenuhnya dan siap sedia untuk melakukan segala sesuatu
bagi kepentingan sang majikan dalam keadaan apa pun dan di mana pun juga.
Memberi
diri itu berarti :
·
Melayani sekalipun
pelayanan itu tidak menyenangkan hati kita, karena tujuan kita melayani yang
utama adalah untuk menyenangkan hati Tuhan, bukan kita.
·
Melayani kapan
pun Allah membutuhkan kita bahkan mengijinkan Tuhan untuk berhak penuh mengendalikan
jadwal kita dan menyela kapan saja Dia membutuhkan kita! Bukan kita yang
menyela waktu dan mengatur Tuhan sesuai dengan jadwal kita. Pelayanan harus
menjadi prioritas utama kita!
·
Melayani
kebutuhan orang lain lebih utama di atas kepentingan pribadi kita dan melihat
pelayanan sebagai suatu kesempatan emas yang tidak boleh disia-siakan.
·
Melayani dengan sigap
melakukan yang terbaik dalam diri mereka, tanpa menunda atau mengulur-ngulur
waktu.
·
Melayani
sekalipun ada gangguan yang menghadang. Dan tidak menjadikan gangguan itu
sebagai alasan untuk berhenti melayani tetapi untuk melatih kita melayani lebih
sungguh lagi.
Itulah yang harus kita miliki jika
ingin menjadi seorang pelayan yang sejati, yaitu pelayan yang memberi
diri. Tuhan kita Yesus Kristus telah
memberi teladan tentang pemberian diri ini, dan hal itu kita ingat dengan mudah
ketika kita melihat SALIB.
SALIB sebuah pemberian diri atau self giving!
Di atas kayu salib, Yesus memberi
diri bukan berarti mati konyol atau mau diperlakukan semena-mena. Ia memberi diri dengan menyediakan diri
dengan setulus-tulusnya untuk membela dan menolong manusia yang berdosa. Yesus tidak menunggu kita bertobat dulu
baru kemudian Dia memberi diri-Nya buat kita. Ia tidak menunda-nunda waktu
untuk segera menolong kita. Ia
memberikan diri-Nya untuk menebus dosa kita, bahkan pada saat kita masih
menjadi seteru Allah. Ia memberikan
diri-Nya untuk menebus kita bahkan pada saat kita masih berdosa.
Jika Yesus sudah sedemikian
berkorban buat kita, apa yang sudah kita berikan bagi kemuliaanNya. Masihkah kita berpikir bahwa hidup ini adalah
milik saya, oleh sebab itu saya akan gunakan semau saya. Mungkin kita masih berpikiran bahwa seluruh
waktu adalah saya miliki, oleh sebab itu, saya akan gunakan untuk kesenangan
saya. Mungkin juga kita berpikir bahwa
harta yang saat ini saya miliki adalah hasil jerih payah saya sendiri, oleh
sebab itu, saya akan gunakan untuk keperluan saya. Mungkin juga kita berpikir bahwa semua bakat
dan talenta yang saya miliki adalah hasil kerja saya, oleh karena itu saya
hanya akan pakai untuk kepentingan saya sendiri. Dan masih banyak lagi mungkin yang kita
pikirkan yang semuanya adalah hanya untuk saya dan saya dan saya . . .
Ingat kita dipanggil untuk
menjadi pelayan dan bukan tuan. Pelayan
yang sejati memberikan diri untuk melayani!
2.
Pelayan-pelayan Sejati Merendahkan Diri Mereka untuk
Melayani ( v. 36-37).
Ini sebuah cerita dari perang kemerdekaan Amerika Serikat
di abad 18. beberapa orang prajurit sedang mendorong gerobak yang terperosok
dalam lumpur. Mereka mendorong sekuat
tenaga, tapi apa daya, tenaga mereka ternatas.
Komandan regu itu yang berpangkat kopral sama sekali tidak turut
membantu, karena merasa pekerjaan untuk kotro-kotoran dalam lumpur tidak pantas
bagi seorang kopral. Ia hanya berdiri dan berteriak, “Dorong terus. . .dorong
terus!”
Pada saat itu lewatlah seorang
pengendara kuda. Melihat adegan itu,
orang tersebut turun dari kudanya, dan tanpa mengucapkan sepatah kata punj, ia
masuk ke dalam lumpur dan turut mendorong gerobak itu.
Dan berkat pertolongannya, gerobak itu
akhirnya dapat keluar dari lumpur. Lalu
penunggang kuda itu menghampiri sang kopral dan berbisik, “Kopral, kalau lain kali
anda membutuhkan bantuan lagi, silahkan panggil saya. Nama saya George Washington.”
Langsung kopral itu mukanya berubah
pucat pasi dan cepat-cepat ia memberi hormat, “Siap Jendral!” Pengendara
kuda itu ternyata ada Jendral Washington,
yang jabatannya adalah seorang panglima Tertinggi da Presiden Amerika Serikat! Saya
yakin kopral itu mendapatkan pelajaran paling berharga dalam hidupnya yang
tidak akan pernah dilupakan, yaitu tentang kerendahan hati.
Seorang pelayanan Kristen yang sejati
harus memiliki kerendahan hati. Yesus
sudah berulang kali mengajarkan kepada murid-murid-Nya tentang hal ini, namun
kelihatannya mereka tidak mengerti juga.
Mari kita lihat Markus 9:30-32.
ada beberapa hal yang menarik dalam bagian ini.
Markus 9:30 dikatakan, “Yesus
dan murid-murid-Nya berangkat dari situ dan melewati Galilea, dan Yesus tidak
mau hal itu diketahui orang.”
Tuhan dan beberapa murid-Nya sangat mengenal wilayah Galilea, karena
beberapa dar mereka berasal dari daerah itu.
Dan kemungkinan menurut saya orang-orang di Galilea juga mengenal Tuhan
Yesus dan murid-murid-Nya. Namun, yang
pantas membuat kita heran dikatakan bahwa Yesus tidak mau kedatangan-Nya
diketahui oleh orang.
Mungkin kita bertanya, mengapa
demikian? Ayat 31, Sebab Ia sedang mengajar murid-murid-Nya.
Ia berkata kepada mereka: "Anak Manusia akan diserahkan ke dalam tangan
manusia, dan mereka akan membunuh Dia, dan tiga hari sesudah Ia dibunuh Ia akan
bangkit." Yesus sedang
melakukan sesuatu yang dianggapnya sangat penting, yaitu mengajarkan
murid-murid-Nya tentang kehendak Allah bagi diri-Nya.
Sebenarnya Markus, jarang sekali
menggunakan sebutan “Anak Manusia” yang menunjuk kepada Yesus, sebab sebutan
itu dirasanya terlalu merendahkan Tuhan.
Oleh karena itu, kalau kita teliti, maka Markus lebih banyak menggunakan
sebutan Anak Allah (Markus 1:1, 5:7).
Tetapi di sini Markus tidak menghindarkan sebutan “Anak Manusia”, sebab
Yesus sengaja memakai sebutan itu untuk menunjukkan kerendahan hati-Nya.
Namun, yang sangat disayangkan adalah
bahwa apa yang Yesus ajarkan kepada mereka dengan sungguh-sungguh itu tidak
dimengerti oleh para murid (v.32).
kenapa mereka tidak mengerti? Apakah karena ajaran yang mereka dapatkan
hari itu baru buta mereka? Bukan demikian, sebab menurut Injil Markus, Tuhan
sudah mengajarkan hal yang sama sebanyak 2 kali dan kalau kita mengikuti urutan
peristiwa dalam semua Injil, maka ini adalah keempat kalinya Yesus mengajarkan
bahwa Ia akan menderita!
Mereka bukan hanya tidak mengerti apa
yang diajarkan oleh Yesus, namun mereka “segan
menanyakannya kepada-Nya.” aneh
‘kan? Udah
tidak mengerti, tapi tidak mau ada yang bertanya? Tidak mengerti namun
pura-pura mengerti ini adalah tindakan yang sangat tidak menguntungkan. Seperti pepatah mengatakan, “Malu bertanya,
sesat dijalan.” Kembali ke pertanyaan semula, kenapa tidak ada satu pun dari
mereka yang tidak mau bertanya? Ini
jawabannya, karena mereka masing-masing menjaga gengsi. Tidak ada orang yang mau ketahuan kalau dia
bodoh. Semua orang mau dianggap pandai
oleh orang lain. Semua murid-murid sok
pinter dan akhirnya kebelinger! Ini
jelas bertentangan dengan kerendahan hati sebagai seorang pelayan.
Oleh sebab itu, Yesus membawa seorang
anak kecil ke tengah-tengah mereka. Apa
tujuan Yesus membawa seorang anak kecil ke tengah mereka? Perhatikan
firman-Nya: "Barangsiapa menyambut seorang anak seperti ini dalam nama-Ku, ia
menyambut Aku. Dan barangsiapa menyambut Aku, bukan Aku yang disambutnya,
tetapi Dia yang mengutus Aku."
Gambaran anak kecil merupakan gambaran
dari ketidakberdayaan, tidak punya kuasa, tidak punya status, tidak punya hak,
bergantung kepada orang dewasa. Apakah
kita perlu memiliki gambaran seperti itu? Harus, karena kita hanyalah pelayan
dan bukan tuan. Kita perlu dengan
rendah hati mengakui, bahwa kekuatan untuk melayani itu datang dari Tuhan
karena kita tidak berdaya, kuasa kita melayani itu datangnya dari Tuhan sebab
kita tidak punya kuasa, status kita sebagai pelayan itu adalah kepercayaan dari
Tuhan, bukan sesuatu yang layak kita dapatkan, kita tidak punya hak apapun
sebagai hamba, kita hanya memiliki kewajiban, dalam pelayanan kita sepenuhnya
hanya bergantung kepada Allah dan bukan kepada kemampuan kita.
Namun, gambaran anak kecil juga
memberikan arti yang lain kepada kita, yaitu dalam urusan melayani Tuhan, tidak ada sesuatu pun yang kita
kerjakan bagi Tuhan itu bernilai kecil! Sebab
yang sekecil apa pun pelayanan yang kita lakukan, itu berarti di mata Tuhan.
Jadi, jangan pernah menganggap enteng
pelayanan-pelayanan apapun juga yang dipercayakan kepada kita. Kita harus dengan rendah hati melakukan
pelayanan yang dipercayakan kepada kita dengan sungguh-sungguh. Sebab pelayanan bukanlah ajang untuk unjuk
gigi, atau unjuk kemampuan. Pelayanan
juga bukan ajang pameran atau untuk menarik perhatian orang atau penghormatan
dari orang lain. Itu bukan pelayanan,
itu mencari popularitas, tidak bedanya dengan artis atau selebritis.
Menjadi pelayan yang rendah hati
berbeda dengan pelayan yang rendah diri.
Bedanya, seorang pelayan yang rendah hati tahu akan kapasitas dan
kedudukan hanya sebagai hamba, yang melakukan apa yang menjadi tugasnya dengan
baik, tidak memikirkan keuntungan atau kepentingan pribadi. Namun, pelayan.yang rendah diri tidak
mengetahui kapasitas dirinya sebagai hamba, tidak melakukan tugas pelayanannya
dengan baik, hanya memikirkan keuntungan atau kepentingan pribadinya dalam
pelayanan.
Misalnya, seorang pelayan yang rendah
hati dalam pelayanan gereja. Ketika ia
mendapatkan tugas untuk menyambut jemaat,
maka ia akan melakukan tugasnya sebaik-baiknya dengan cara datang lebih awal
dari jemaat, mempersiapkan Alkitab, buku-buku pujian, dan warta gereja,
kemudian dia akan memberikan salam dan mengucapkan selamat kepada jemaat yang
datang beribadah dan ia akan menjadi orang yang terakhir duduk di kursi gereja
setelah semua jemaat hadir! Ia mau
melakukan semuanya tanpa berpikir “kok
enak betul mereka yang datang terlambat, hanya tinggal duduk dan beribadah”
atau “kok aku mau ya beres-beres, padahal tidak yang perhatikan aku!”
Jika kita ingin menjadi seorang pelayan
sejati kita harus rendah hati dalam melayani.
Sekalipun kita tidak mendapat perhatian, pujian, popularitas bahkan
kemahsyuran. Malahan sebaliknya kita
dicaci, kita dipersalahkan, kita dikritik pedas, kita dianggap remeh. Namun
ingat, di surga Tuhan secara terang-terangan akan memberikan upah kepada
pelayan-pelayan yang demikian! Mari kita
yang dipanggil sebagai pelayan-pelayan Kristus kita melayani dengan memberi
diri dan rendah hati sama seperti Kristus telah memberi diri dan melayani kita
dengan kerendahan hati-Nya.